Minggu, 19 April 2009

Cinta Pertama ...


Senja bergulir melewati waktu

Hari berganti tanpa kusadari

Harapku ...

Kau tak lagi disana

Memenuhi impianku dengan bayangmu

Mengusik tidurku dengan senyumu

Namun ...

Aku tetap tak mampu

Menghapusmu walau sedetik waktu

Dan kau tetap ada disana ...

Selamanya ....




Aku termenung menatap cakrawala, warna jingga itu semakin memerah. Langit mulai digayup temaram senja, ombak berayun lembut ditengah samudera. Suasana begitu hening, yang terasa hanyalah angin yang bertiup lirih mempermainkan rambutku. Terdiam, hanya jemari tanganku yang memainkan ranting diatas pasir putih. Menuliskan satu nama .... dia. Akankah ada pertemuan kembali, yang bisa menautkan hati. Yang mampu menghapus rindu, yang sanggup menelan kata keraguan yang terkadang kerap melanda hati. Akankah ada waktu tuk merangkai hari dengan satu kata “cinta”. Achhhh .... aku mendesah pelan. Tak kuasa dalam deraan lara, hati yang terasa kosong dan hampa.

“Nda, sudah waktunya pulang nich !” Refa menyentuh lembut bahuku. Aku menoleh, tersenyum dan mengangguk pelan.

“Udah dech, nggak usah dipikirin. Ngapain lagi capek-capek mikirin sesuatu yang belum tentu dianya mikirin elo”

“Tapi Fa ... elo tahu kan bahwa dalam hal ini gue yang salah. Ehmm ... nggak seharusnya gue lakuin hal itu.”

“Ha..ha..ha... elo cinta beneran nich ma dia. Tumben ... bukankah biasanya elo hanya cari tokoh buat novel or cerpen kamu tuch. Habis itu, pasti elo lepas dech ....”

“Fa .... !!!” aku menjerit, setengah tersipu tapi juga menyesal.

“Lohh iya kan. Selama ini, elo belum pernah dech bener – bener jatuh cinta. Elo menganggap mereka hanyalah tokoh yang kau mainkan dalam cerpenmu. Setelah cerpen selesai .... selesai juga hubunganmu dgn mereka.”

“Tapi sekarang beda Fa ....”

“Beda ? apanya yang beda ? sama aja lagee... elo juga kan yang nglepasin Ivan.” Aku terdiam, menatap langit yang mulai gelap.


Teringat pertemuan terakhir itu, aku dan Ivan jalan. Memang ku sengaja, mengajaknya ke Kaliurang. Tempat yang kuharap bisa menjadi saksi bisu, kala ku lepas jalinan ini. Aku harus melepasnya, walau seberat apapun rasa dihatiku. Walau sepahit apapun .... aku harus melepasnya. Untuk sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Untuk alasan apa aku sendiripun tidak memahaminya. Namun, tak kupungkiri .... jauh disudut hatiku ada rasa tak rela. Rivan .... dia cowok terbaik yang pernah ku kenal. Sangat berbeda dengan para korbanku yang lain. Korban ?? .... rasanya aku tak sesadis itu, mungkin aku hanya memanfaatkan mereka sebagai tokoh cerpenku. Setelah cerpenku selesai, kebiasaanku adalah melepaskan mereka kembali. Dalam jalinan itu tak pernah ada perasaan yang ikut, tak pernah sekalipun aku mengikutkan hati disana, yang ada hanyalah logika. So ... setiap selesai satu hubungan, akupun akan memulai hubungan yang baru, untuk satu cerita yang baru. Mungkin benar kata Refa, aku tak pernah benar – benar jatuh cinta. Dan sekarang .... mengapa ada rasa hampa yang tak kumengerti bergelayut dihatiku. Mengapa sampai saat ini aku masih belum bisa melupakannya. Setiap ku tatap mataku didepan cermin, bukan bayanganku yang terlihat, namun disana yang terlihat hanyalah wajahnya. Tatap mata itu dipenuhi dengan bayangannya. Terkadang aku berfikir, aku sudah gila karenanya.

“Van, gue rasa udah nggak ada yang bisa pertahankan dalam hubungan ini.” Rivan tersentak, dia menatapku heran. Disudut mata itu ... kulihat jelas ada luka yang menari – nari disana. Aku hanya mampu tertunduk, tak bisa memungkiri kata hati, bahwa aku pun tak ingin melepaskan jalinan ini.

“Apa?? salah gue apa Nda. Selama ini, gue rasa hubungan kita baik – baik saja. Koq tiba – tiba .... ??” Rivan mengibaskan kedua tangannnya, menyerah dengan sesuatu yang dia sendiri tak mengerti.

“Ternyata benar semua kata – kata mereka, elo nggak pernah sekalipun bisa mencintai orang lain. Elo hanya cinta diri elo sendiri. Egois .... bener ??”

“Jadi selama ini, gue hanya elo permainkan. Hanya elo buat sebagai tokoh dalam cerpen elo ? memangnya berapa sich royalti yang elo dapet dari menulis cerpen – cerpen itu. Bushiittt .... apa yang elo dapet Nda ! apa !!!” Rivan marah, dia .... berubah menjadi sosok yang tak ku kenal. Tatapan matanya menjadi liar, ada luka, kecewa, sakit hati, marah dan benci. Berbaur menjadi satu dan membentuk sesuatu hingga membuat aku terpaku ... sedahsyat inikah cinta, suatu waktu bisa membuat orang tertawa bahagia, namun disisi lain bisa menghancurkan hingga menjadi serpihan kecil. Membuat luka dan tangis yang membeku dalam hati dan menjadikannya tanpa rasa. Karena luka cinta ....

“Ketenaran kah ? elo ingin menjadi sosok yang tak tergantikan, elo ingin menjadi sosok yang abadi dalam hati. Setelah itu dapat teraih, elo mencampakannya ... elo membuangnya. Tanya hati kamu sendiri Nda, apakah kamu merasa bahagia ? dengan membuat banyak hati terluka ?” Ku tutup telingaku, aku tak ingin dihakimi, tak ingin dipersalahkan atas semua perasaan yang tumbuh dihati mereka. Aku hanyalah sebuah alasan, aku tak pernah menginginkan cinta mereka tapi merekalah yang datang padaku menawarkannya. Salahkah ? bila aku menerimanya ? dan jika ternyata aku tak memiliki rasa yang sama salahkah juga bila ku lepas keberadaannya dihatiku ?

“Please ... dengerin gue ! Gue nggak ada maksud buat nyakitin elo ataupun mereka semua. Gue punya alasan sendiri, yang nggak bisa gue ungkapin ke elo. Van please ngertiin gue sekali ini !. Gue rasa sampai saat ini .... jalinan ini percuma saja diteruskan. Ada banyak alasan, ada banyak pertimbangan. So please .... don’t be angry. I want just to be friend for you.” Aku benar – benar ingin berlalu dari hidupnya. Tak ingin menambah luka di sana. Aku tak ingin memberi harapan yang tak mungkin bisa kuberikan padanya. Tapi mengapa aku tetap saja tak mampu melupakannya, tak bisa menghapusnya dari hidupku. Dan tetap saja, malamku selalu dipenuhi impian tentang dia. Inikah cinta ? ataukah aku sudah menyadari bahwa rasa yang kumiliki untuknya berbeda dengan semua rasa yang pernah kuberikan pada para mantan – mantanku dulu. Apakah selama ini aku hanya melarikan diri dari perasaanku sendiri, takut mengakui bahwa aku mencintainya. Mencintai seseorang untuk pertama kalinya dengan sepenuh hati. Dan kala kusadari hal itu, membuat aku takut .... ketakutan hingga aku merasa akan hancur dengan memiliki rasa ini. Aku takut, dia akan dengan mudah menyakitiku dan itu adalah hal yang sangat kubenci. Dan jalan satu – satunya jalan saat itu, yang ku kira terbaik adalah mengurai jalinan itu, melepaskannya untuk mencari labuhan hati yang lain, walau ternyata dengan kepergiannya tak membuat aku bahagia. Kepergiannya hanya menorehkan luka yang berkepanjangan dihatiku. Dan membuatku beku selama 3 tahun ini. Masih berartikah penantian ini ? masih adakah jalan yang akan membawaku kembali padanya, adakah rasa yang sama dihatinya untukku esok kala ku bertemu lagi dengannya. Mungkin benar kata Rivan, selama ini aku ... hanya ingin sendiri, meraih impian ku, untukku, untukku bukan untuk orang lain. Mungkin benar, aku tak pernah bisa mencintai orang lain, aku sangat egois ... egois untuk ukuran orang normal. Namun aku mencintainya, itu yang seharusnya dia tahu .......

“Dok, ada pasien !” Aku terperagah kaget. Ach ... lamunan panjang ini tak akan pernah berakhir. Aku kembali tersadar, saat ini aku bukan lagi mahasiswa kedokteran. Bukan gadis yang dulu sering menulis cerpen. Dan pastinya, aku bukan lagi gadis yang suka matahin hati para jagoan. Aku seorang dokter, yang baru beberapa bulan ini praktek di kota ini. Impianku .... walau sekarang aku vakum dari dunia menulis, namun kebiasaan menulis tidak begitu saja bisa menghilang. Saat ini, tulisanku hanyalah berisi naskah ringan, bahan diskusi atau tanya jawab disatu rubik di majalah remaja.

“Dia korban tabrak lari dok !” Suster Ani kembali mengusik lamunanku. Dengan segera aku tersadar.

“Sus, bawa ke ruang UGD. Saya akan segera kesana !” mendengar perintahku, suster Ani bergegas ke ruang UGD. Ach ... jam menunjukkan pukul 16:30 WIB, sudah sore. Sebentar lagi dokter jaga akan datang, dan waktu ku pulang pun sudah tiba. Dengan tergesa, aku melangkah ke ruang UGD.

“Bagaimana keadaannya sus ?”

“Pasien mengalami luka ringan dok. Mungkin dia hanya syok, dengan mengalami kejadian ini.” Aku melangkah mendekat, aku lihat sosok gadis remaja terbaring disana.

“Sudah dicek kondisinya sus ? tensi dan tekanan darahnya normal ?”

“Ya dok, semua normal. Hanya terjadi luka ringan di kaki dan pergelangan tangan. Hasil rontgen masih dalam proses dok. Masih di ruang radiologi.” Ku lihat kondisi pasien sudah mulai stabil. Dan saat ini masih dalam pengaruh obat penenang.

“Bagus sus, kondisinya sudah stabil. Keluarga pasien sudah ada yang datang ?”

“Sudah dok.”

“Tolong minta ke ruangan saya !”

“Baik dok !” Hari – hariku, penuh dengan rutinitas yang menjemukan. Ehmm ... inilah wujud pengabdianku. Sebagian dari impian masa remajaku. Ingin menjadi seseorang yang berarti bagi orang lain. Namun .... aku hanyalah seorang wanita yang selama ini hanya bisa memberi harapan tanpa mampu mewujudkannya. Rivan, dimana dia sekarang ? aku benar – benar merindukannya. 3 tahun ini yang kurasakan hanyalah kehampaan, aku tak bisa menjalin satu hubunganpun dengan sosok lain. Sejak dia pergi dari kehidupanku, aku benar – benar mati rasa. Tak ada satupun sosok yang bisa menggantikannya. Dia cinta pertamaku, cinta yang benar – benar cinta. Namun ... dia juga cinta yang tak bisa kuraih, aku masih mencarinya. Aku masih berharap, dia ada disana menungguku. Dia ada disana sedang menanti kehadiranku. Dan sangat ku harap, masih ada cinta dihatinya untukku.

“Ehmm, gimana kabar elo hari ini ?” ku tatap Refa didepanku, aku tersenyum. Sedikit mengabaikan tatapan menuntut diwajah mungil itu. Suasana di Coffee Shop sore itu sedikit sepi, tidak seperti hari – hari biasa. Dan kebiasaanku sehabis pulang kerja selalu nongkrong disini dengan Refa, saling bertukar cerita dan yach ... berbagi keluh kesah. Karena dia adalah satu – satunya sahabat yang selalu bersamaku sejak kuliah dan bekerja di kota ini. Dan kebetulan sekali dia memang tinggal di kota ini.

“Nda, koq diem sie .... !” ku aduk Honey Capucino Mousse di depanku, dengan perasaan yang benar – benar tak bisa kujabarkan.

“Biasa, nggak ada pasien yang gawat. Entahlah, gue rasa hari ini gue pengen banget ada peristiwa yang bisa memacu andrenalin gue. Elo tahu, rutinitas ku saat ini terkadang membuat aku bosen. Aku pengen sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa membuat aku hidup.”

“Gila lo, emang kamu pengen tiap hari ada orang yang kena penyakit jantung, yang kena luka parah, kehabisan darah hingga bisa membuat elo kalang kabut dan membuat elo lupa dengan semua masalah elo, githu ?”

“Bukan githu Fa, ach udah lahh. Kalo elo gimana ? hari ini nggak buka praktek ?” Refa melihat arloji ditangannya.

“Masih ada waktu koq, tenang aja dech ... kalo elo mo curhat gue masih disini ma elo !” aku tersenyum, Refa memang selalu begitu. Dia tak pernah tak ada waktu buat aku, dia sahabat terbaik yang ku miliki.

“Enggak hari ini dech, elo musti pulang. Kasihan tuch pasien elo, disamping itu ehmm ... tuch lihat ! pangeran tampan elo dah nungguin tuch !” Refa melihat kearah yang aku tunjukkan. Dia tersenyum lebar, kulihat ada binar indah dimata itu. Dia melambaikan tangannya ke arah Aditya, memberi tanda bahwa dia sebentar lagi akan keluar untuk menemuinya.

“Ehmm... sorry nich, kayaknya gue musti cabut dulu dech. Nggak pa pa kan Nda ? atau entar habis praktek gue call elo dech ! oke !” Refa berlalu dari hadapanku, entahlah tiba – tiba saja aku merasa iri melihat kemesraan mereka berdua. Iri dengan kebersamaan yang setiap saat bisa kulihat, iri melihat ikatan jalinan yang begitu kuat dan indah. Ach .... tapi aku tak mungkin menjalin ikatan indah seperti itu dengan sosok lain. Walau selama ini kedua orang tua ku selalu mendesakku untuk segera menikah. Hanya saja, hati ini tak bisa ku bohongi, tak bisa aku paksa untuk menerima sosok lain yang tak kuinginkan. Aku hanya ingin kau, hanya kau Van, bisikku kelu.


Hari minggu, ehmmm... identik dengan libur, dan yach, memang libur. Hari ini aku nggak ada jadwal jaga di Rumah Sakit. Jadi, aku sangat ingin menikmati hari libur ini. Jam masih menunjukkan pukul 5:00 WIB, ku raih celana dan baju olah ragaku, aku ingin lari pagi, menggerakkan otot dan me refresh otakku. Siapa tahu dengan menghirup udara dipagi hari, segala kepenatan ini bisa sedikit terkurangi. Route hari ini, aku hanya ingin berlari mengelilingi komplek, sambil cuci mata ditaman. Entahlah sudah lama rasanya aku tidak menggoda cowok, hi...hi..hi... aneh kebiasaan waktu dikuliah masih saja hadir dan menggodaku. Memang nggak aneh nich, seorang dokter muda, masih single dan cantik, godain cowok dipinggir jalan ??? duch ... mo taruh dimana nie muka gue ! aku tertawa sendiri, membayangkan setiap hal yang menjadi kebiasaanku bersama sohib – sohibku waktu kuliah dulu. Uuuuhhh !!! nggak terasa capek juga nich. Akhirnya, aku berhenti berlari, dan jalan santai aja. Sepanjang perjalanan, aku harus pasang senyum, mengangguk ramah atau sekedar menjawab sapa ringan orang orang yang berpapasan denganku. Tak ku sangka ternyata, mereka mengenalku, padahal aku tidak begitu mengenal mereka. Maklum aku datang di kota ini baru beberapa bulan yang lalu, jadi belum sepenuhnya adaptasi dengan lingkungan sekitar. Taman komplek ini, lumayan asri. Disepanjang jalan setapak banyak ditumbuhi bunga – bunga, kalau pas musim semi, pasti indah. Disekeliling taman di tumbuhi pohon Palm. Dan disetiap sudutnya ada pohon beringin, dibawahnya ada sepasang tempat duduk yang memang disediakan disana. Dan aku, kelelehan, berkeringat terduduk disana dengan nafas yang ngos ngosan. Ku lihat sekeliling, banyaknya muda mudi, bapak – bapak ataupun para ibu yang melakukan gerakan senam. Anak – anak kecil berlarian saling berkejar – kejaran. Dan disana, aku melihat seorang laki – laki diatas kursi roda, di dorong oleh seorang paruh baya. Aku tersentak kaget, mimpikah ini ? ataukah hanya halusinasi ? dia .... tidak ! nggak mungkin, nggak mungkin itu cowok tampan yang tiga tahu lalu mengandeng tanganku, tertawa mengodaku, dan selalu menatapku dengan penuh tatapan jenaka. Sekarang kulihat terkulai tak berdaya di atas kursi roda, nggak mungkin .... bibir yang selalu tersenyum, yang selalu tertawa, yang selalu menghiburku terlihat pucat dan tak berwarna. Rivan !!! serasa batinku menjerit, memanggil namanya. Dan .... ya Tuhan !!! tak ku sangka, dia menatap kearahku. Aku ??? apa ini ??? apa ini Tuhan ??? apakah ini balasan atas semua kesalahanku. Mengapa ? mengapa ya Allah, kau hilangkan segala keindahan di wajah tulus itu. Aku berjalan mendekat, ingin kuyakinkan diriku sendiri bahwa dia bukan Rivan yang ku kenal.

“Permisi !” sapaku. Aku menatap sosok diatas kursi roda itu, dan .... ada rasa sakit yang tiba – tiba melingkupiku. Seketika melukaiku, karena dia benar – benar Rivan.

“Maaf bu, boleh saya menyapanya ?” tanyaku pada sosok paruh baya itu.

“Boleh non, dia Den Rivan ....!” Aku terduduk didepan sosok itu, kusentuh jemarinya. Aku ingin dia menatapku, menatapku seperti dulu, dulu ..... waktu hatinya masih milikku. Dan disetiap tatap matanya yang terlihat hanya aku ...

“Van, please .... tatap gue. gue kangen Van, maafin gue .... !!!” Mata itu menatapku, namun yang kulihat hanyalah tatapan kosong disana, tak ada kehangatan, tak cinta, tak emosi apapun ... yang kurasa hanyalah hampa .... Tak terasa, air mataku menetes. Aku benar – benar sedih, dan aku benar – benar terluka karenanya. Tuhan, mengapa kau tegur aku dengan cara seperti ini ? bukan dia yang salah, aku Tuhan, aku makhlukmu yang selalu menyakiti hatinya. Please .... kembalikan dia padaku, kembalikan senyum dan binar indah itu. Kembalikan ya Allah, aku ingin dia kembali seperti dulu. Aku rela menembusnya dengan apapun, bahkan nyawaku sekalipun. Aku ingin dia Tuhan !!! akankah jeritan hatiku ini Kau dengar ? akankah Engkau menjawab segala pinta ini ?


Pagi itu tak kan pernah kulupa, aku mengantarnya pulang, bertemu dengan orang tuanya. Dan mendengar segala cerita tentang dia sejak kami berpisah 3 tahun yang lalu. Dia berubah, atau aku yang mengubahnya ? dia menjadi sosok yang benar – benar tak bisa dipahami, berubah 180 derajat dari sifat dan tingkah lakunya. Dia .... menjadi sosok yang tak bisa memahami orang lain, sosok egois dan tidak berperasaan. Dan setahuku dulu, dia adalah cowok yang hangat, penuh pengertian dan .... selalu tertawa. Mungkinkah cinta bisa merubah seseorang menjadi sosok yang menakutkan seperti itu ? dan 1 tahun yang lalu dia mengalami kecelakaan. Mengalami patah tulang, di kaki dan depresi berat. Dia tak memiliki semangat hidup, dia tak pernah ingin sembuh dan bangkit dari keterpurukannya. Dia tak pernah mau menjalani terapi untuk kesembuhannya. Hidupnya hanyalah di kursi roda. Dan .... entah mengapa, saat ini dia seperti hilang kesadaran. Tak mengenal siapapun bahkan kedua orang tuanya dan dirinya sendiri. Yang ada diingatannya hanyalah masa lalu. Terkadang, tiap malam dia menjerit memanggil – manggil sebuah nama.

“Bener non, Den Rivan, sering menjerit sambil memanggil – manggil dinda ... !!! dinda ...!! saya nggak tahu siapa yang dipanggilnya.” Aku tercenung mendengar cerita bi Ijah. Ada kepedihan yang datang dan mengusikku, ada rasa bersalah yang menguasaiku. Aku hanya mampu menatap sosok yang terbaring tak berdaya di atas ranjang itu. Ku sentuh wajahnya, ada perasaan pilu yang menderaku. Menatap wajah tirus itu, wajah yang dulu ku kenal begitu ramah dan penuh senyum. Aku mendekat, ku bisikan kata ditelinganya, berharap dia mendengarku “Aku kah yang membuatmu seperti ini ? aku kah yang harus bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi padamu Van ? please ... dengerin aku, janjiku Van, selamanya aku kan bersamamu. Aku akan membawamu kembali kepada kedua orang tuamu. Aku yang akan bertanggung jawab atas semua hal yang menimpamu. Please ... maafin aku ! kembali padaku Van, I love You !” kuhapus air mataku. Kepedihanku selama tiga tahun ini, tak ada artinya dibandingkan semua hal yang telah kuperbuat hingga melukainya separah itu. Aku benar – benar egois, hanya mementingkan sesuatu hanya demi ambisiku. Benar Van, aku memang ingin menjadi sosok tak tergantikan untukmu, atau untuk para mantan – mantanku. Aku memang ingin menjadi sosok yang paling berarti, bagi kaummu. Setelah itu, aku berlalu dari hidup mereka dan hanya ingin meninggalkan luka disana. Tapi .... kusangka, engkau sama dengan mereka. Engkau juga layak merasakan sakit sama seperti mereka. Para pecundang itu, yang hanya bisa melukai wanita, menyakiti wanita, menghina dan merendahkan wanita. Aku hanya ingin menunjukkan pada kaummu, bahwa wanitapun bisa pegang kendali. Aku tak menyangka, bahwa cintamu benar – benar putih untukku. Maafin aku Van, aku salah menilaimu. Namun engkau harus tahu, aku sudah membayar semua kesalahan itu selama 3 tahun ini. Aku benar – benar telah kena batunya, dan untuk pertama kalinya aku benar – benar jatuh cinta. Jatuh cinta padamu, tanpa ku mampu untuk mencegahnya, tanpa mampu tuk menepisnya. Salahkah Van, jika aku menantimu untuk kehidupan selanjutnya ? terlambatkah aku untuk membawa hatimu kembali padaku ? sudah terlambatkah aku untuk mengatakan aku mencintaimu, dan hanya ingin hidup denganmu ? please... beri aku satu kesempatan untuk menunjukkan betapa aku mencintaimu.


Entahlah saat ini, yang kurasa sebagai jalan terbaik adalah membawanya ke masa lalu. Dan itu hanya bisa kulakukan bila aku kembali ke Yogya. Ku jelaskan semua maksud baikku kepada kedua orang tua Rivan. Aku ingin menyembuhkannya, walau dengan cara apapun. Dan itu hanya bisa kulakukan dengan membawanya ke Yogya. Langkah awal yang kulakukan adalah meminta ijin cuti ke Rumah Sakit tempatku bekerja, menerima semua konsekuensi ataupun sanksi terberat sekalipun. Mungkin aku di keluarkan, atau yang paling parah ijin praktekku dicabut. Untuk sementara aku musti recent dari Rumah Sakit, konsen untuk kesembuhan Rivan. Aku hubungi semua dokter kenalanku, meminta kesediaan mereka membantuku. Rivan harus menjalani terapi yang panjang untuk kesembuhannya. Dan akhirnya, aku ada disini .... diYogya. Tempat yang telah kutinggalkan 1 tahun yang lalu. Masih sama, semua masih terasa begitu akrab denganku. Dengan pertolongan teman, aku bisa mendapatkan paviliun terbaik untuk Rivan di sebuah Rumah Sakit di Yogya. Kesehatan fisik dan mentalnya dicek ulang, di tes ulang, demi mendapatkan kondisi fisik dan psikis Rivan saat ini. Dan aku berharap, apa yang aku lakukan saat ini menunjukkan hasil dan bisa membuatnya kembali seperti dulu.


Aku punya banyak kenangan dengannya, foto – foto, ataupun barang dan pernak – pernik kecil yang mewarnai perjalanan jalinan kami. Semua aku perlihatkan kembali padanya, aku hanya ingin dia mengingat hal itu, dan bisa mengembalikan semua memori ingatannya yang telah hilang. Aku membawanya ke Kaliurang, tempat pertama kali kami jadian.

“Kau ingat ? disini tempat pertama kali kau ucapkan kata cinta padaku. Kamu ingat ? kamu menggendongku turun dari atas sana, gara2 aku terjatuh dan kakiku terkilir ?. Van, kamu ingat ?? aku meronta dalam gendonganmu, merasa risih karena banyaknya tatapan mata yang tertuju padaku. Namun, kau begitu erat memelukku membuatku tak berdaya dan tak bisa melepaskan diri dari gendonganmu.” Dan kisah itu seakan kembali terekam dalam benakku, menari – nari menggodaku.

“Ampunnn Van, turunin gue !!! please, elo mau gue diketawain banyak orang ya !”

“Diam Nda, atau elo emang suka gue jatuhin ke atas tanah ?”

“Yeee ... jangan dong. Emangnya gue barang apa ?”

“Makanya diam aja dech, tenang elo aman dalam gendongan gue !” teriakan dan omelanku tak kau gubris, tetap saja kau berjalan menuruni tebing dengan menggendong ku. Aku takut banget kalo sampai terjatuh dan berguling – guling ke bawah.


Dibawah pohon Beringin, kau mendudukan aku. Ku lihat kau benar – benar kelelahan, aku tertawa melihatnya.

“Eittt ... koq ketawa sie ? emang ada yang lucu ? atau gue mirip nyemot tuch !” tunjuknya ke atas pohon. Yang penuh dengan monyet – monyet yang sedang bergelantungan.

“Hi ...hi..hi... koq baru ngerasa sie ?” Rivan mendelik, pura – pura marah. Dan beberapa saat kemudian duduk didepanku, meraih jemariku menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti.

“Elo bener – bener cewek terindah. Tawamu, senyummu dan lesung pipi itu benar – benar menggoda. Elo tahu, sesuatu yang sesederhana itu bisa menjadi ribuan magnet yang bisa menarik kaumku. Benar kata mereka, elo memang sesuatu yang patut diperebutkan. Walau ... kamu terkenal dengan cewek yang suka banget matahin hati para cowok” Aku terdiam. Bisu dan kelu, tak tahu apa yang mesti kuucapkan atas semua hal yang dia ungkapkan saat itu.

“Banyak yang mengingatkan gue, untuk berhati – hati sama elo. Hati – hati dengan jerat yang elo pasang disekeliling hati dan jiwa elo. Tapi tak bisa gue pungkiri, gue tak bisa mengelak lagi, bahwa gue jatuh hati pada elo, I love you Adinda !” Pernyataan sederhana, namun bagiku bagai sesuatu yang tak bisa kumaknai. Pertama aku bertemu dengannya yang terbersit hanyalah ingin menjeratnya, menjadikan tokoh baru dalam cerpenku. Dan sekarang, impian ku terwujud dia telah bertekuk lutut padaku. Tapi mengapa ada perasaan aneh yang menghinggapiku, ada perasaan yang tak kumengerti merajai hatiku. Ku tatap mata itu, kutegarkan hatiku dan ku hapus segala keraguan di hatiku. Bahwa aku hanya ingin menjadikannya satu tokoh buat cerpenku, tak akan ada hati yang akan ikut terjalin disini, tak akan ada rasa yang ikut bercampur dalam jalinan ini. Aku yakin itu, namun ... kenyakinan ini hanya mengambang dihati.

“Van, elo masih inget ? semua kenangan itu ?” kugengam jemarinya. Tatapan mata itu menerawang jauh, menatap barisan pohon yang mengelilingi lembah ini. Suasana terasa hening, ditengah telaga buatan disana, ada beberapa pasang muda mudi yang asyik bercengkrama dia atas perahu yang berbentuk angsa, bebek dan buaya mereka bercanda dan tertawa sambil sepasang kaki mereka mengayuh perahu itu.

“Dinda .... “ aku mendengar Rivan menyebut namaku, aku tersentak kaget dan bersorak kegirangan.

“Rivan .... tatap gue Van !” Dia menatapku, ada setitik air mata yang bersembunyi disudut mata itu. Hatiku bagai teriris sembilu, perih terasa menyiksa kalbu.

“Ini gue Van, Adinda ... !” ku peluk dia, aku tak peduli dengan kursi roda yang menghalangi kami. Aku hanya ingin, dia tahu aku ada disini untuknya, aku hadir disini hanya untuk menemaninya sepanjang sisa usia. Aku ingin dia percaya, bahwa aku memang tercipta untuknya. Tak terasa air mataku luruh dan jatuh, tubuh Rivan, bergunjang hebat dalam pelukanku. Dia menangis ..... entahlah, menangis karena apa. Karena luka dihatinya, ataukah karena bahagia.

“Please, kembali ke gue ! kembali menjadi Rivan yang dulu gue kenal, demi gue Van demi cinta kita !” Aku tak menyangka, setelah berminggu – minggu lamanya aku mencoba menarik dia kembali ke masa lalu, menarik dia kembali ke ingatannya dulu. Mengajaknya mengelilingi setiap tempat yang pernah meninggalkan kenangan dihatinya kala bersamaku. Yang dia tahu hanya aku, yang ingin dia rasakan kehadirannya hanya kehadiranku. Yang hadir dalam mimpi – mimpinya adalah aku. Aku tahu itu, karena setiap malamku hanyalah berisi tentang nya, setiap khayalanku yang terlukis disana hanya wajahnya, dan yang selalu membuat ku tergetar kala menyebut namanya, memanggilnya. Dia ada disana, menungguku, dan aku disini menunggunya. Jalinan impian ini kan selamanya terjalin disana, tak kan tergantikan oleh apapun jua.


Ehmm ... hatiku seringan bulu, serasa melayang diawan. Kala ku lihat hari – hari berlalu dan berganti membawa harapan baru. Semakin hari kulihat perubahan dalam dirinya semakin membaik. Setiap terapi dia selalu melakukannya dengan sungguh – sungguh. Aku ingin dia memiliki semangat hidup lagi, semangat baru untuk hidup baru.

“Hai ... pagi !” sapaku ringan. Rivan menatapku, tersenyum ....

“Pagi juga non, gimana kabar kamu hari ini ?”

“Yups, biasa aja nich. Ehmmm, udah siap ?” tanyaku

“Lohh, emang mo kemana nie ?”

“Yeeeee.... berlagak lupa lagiiii. Terapi dong, lupa nie ada janji dengan Mbak Tita ?”

“Upss ! enggak dong. Tapi emang sie, tiap gue ketemu elo semua yang ada di otak gue hilang semua tuch. Ha...ha...ha.... !”

“Reseh, emang gue virus ?”

“Yups, virus cinta. Ha...ha..ha.. !”

“Iiiiiihhh, pagi2 dah ngegombal .... ayuk ach berangkat !” hari ini terapi terakhir. Rivan sudah bisa mulai berjalan lagi. Walau saat ini masih mengunakan alat bantu, namun itu sudah lebih baik daripada 2 bulan yang lalu. Kesehatannya sudah mulai berangsur – angsur membaik. Tatapan mata itu sudah mulai berbinar indah, senyum itupun terlihat lebih lepas dan bahagia. Aku sangat berharap, akulah yang memberi setiap binar indah itu, akulah yang memberi sinar bahagia itu dihatinya. Hanya aku .... yang selamanya ada dihati itu. Menempati satu sudut dihatinya yang diperuntukan untukku.


Hari ini, aku membawa Rivan bersua kembali dengan orang tuanya. Ku lihat, ada tawa bahagia dimata sang bunda, ada kelegaan yang jelas terpancar disana. Aku ingin, mengembalikan Rivan ke tengah keluarganya dengan kondisi fisik yang benar – benar stabil, yang benar – benar kuat.

“Makasih ya dok, atas pertolongannya ? kalau nggak ada dokter, mungkin Rivan akan selamanya ada diatas kursi roda.”

“Dokter ?” tanya Rivan heran. Aku tertawa, melihat raut wajah yang tercengang dan heran didepanku, tatap mata itu banyak menyimpan tanya.

“Lupa ? sudah 3 tahun lebih nie, elo nggak inget ya. Saat ini gue bukan anak kuliahan lagi, gini 2 gue dokter lohh ! dokter paling cantik di kota elo ... ha...ha.....ha... !” aku berseloroh ringan, membuat seisi ruang tertawa riuh. Rivan memelukku, membuatku rikuh dan malu. Entahlah. .... pasti seluruh wajahku bersemu merah karenanya.

Aku berharap, esok memang ditakdirkan untukku. Hanya untukku, aku ingin mengenggam impian ini selamanya tuk jadi milikku. Aku ingin, cinta pertamaku ini menjadi cinta terakhirku. Aku ingin, impian ini tak akan punah begitu saja, tak lepas dari genggamanku sebelum terwujud dan nyata hadir dalam duniaku.


Namun, rasanya semua hal didunia ini memang sudah ada jalan takdir masing – masing. Rivan memang telah kembali padaku. Menjadi milikku .... untuk selamanya. Keyakinan itu masih kupegang hingga hari ini .... detik ini, jam ini .... rasanya aku harus melepaskan keyakinan itu. Melepasnya dan kupasrahkan kepada Mu ya Allah.

Entah mengapa hari itu, aku begitu gelisah. Resah dan tak menentu. Aku sudah kembali bekerja di Rumah Sakit, seperti biasa saat ini Rivan sering antar jemput aku. Dan seperti biasa, sore itu dia menjemputku. Entahlah ... aku begitu merindukannya, merindukan semua tatapan matanya, bujuk rayunya, aku merindukan semua tentangnya. Dan ketika aku melihatnya disana, diseberang jalan aku tak kuasa menahan diri. Aku berlari kearahnya, tanpa melihat kiri kanan. Padahal jam – jam saat itu bener – bener lalu lintas sibuk. Yang kutahu hanyalah ... aku berlari ke arah Rivan dia meraihku dan ku dengar suara benturan keras yang memekakkan teling. Ketika tersadar, aku sudah berada di kamar Rumah Sakit dikelilingi banyak orang. Ku lihat Refa, mendekat, mengenggam jemariku, tatap matanya mengisyaratkan banyak hal. Kulihat ada air mata yang menggambang di sudut mata indah itu.

“Nda, kamu baik – baik saja ?”

“Rivan .... Rivan mana Fa ? please ... ada apa ini ?”

“Tenang Nda, tenang .... !! please, jangan tegang, tahan emosimu.”

“Fa .... katakan padaku, mana Rivan ?”

“Dia .... ada diruang perawatan” Aku tersentak kaget, tak mengerti arah pembicaraan Refa. Akhirnya karena ku desak, Refa bercerita tentang peristiwa kecelakaan itu. Ternyata sudah tiga hari aku terbaring tak sadarkan diri di kamar ini. Aku menangis histeris, perasaanku tak dapat kutahan. Serasa ada berjuta – juta beban yang bergelayut dihatiku. Aku terluka, sakit .... bukan kepalang rasa sakit ini. Tak mampu kutahan, aku berlari .... berlari kemanapun bisa kutemukan sosok itu. Aku tak bisa kehilangannya untuk kedua kali. Aku tak bisa menjalani sisa hidupku tanpanya, aku tak bisa melukis impian ini sendirian. Aku membutuhkanmu Van, membutuhkanmu dan menginginkanmu diseluruh sisa hidupku. Aku terpuruk, jatuh dan luruh. Tak berdaya, ketika seluruh rasa luka ini merajai hati. Aku melihatnya, disana ... dengan banyak selang infus yang melekat ditubuhnya. Dia koma, tak sadarkan diri sejak tiga hari yang lalu. Masih adakah harapan untukku, untuk memilikimu ?

“Vannnnnnnnnnnnnnnnnnn ................ tegakah kau meninggalkanku. Relakah kau melihatku terpuruk dan tak berdaya seperti ini. Dengar aku Van, dengar .... harusnya aku yang diatas ranjang ini, aku yang seharusnya terbujur tak berdaya, koma ditempatmu. Bukan engkau, mengapa selalu saja aku yang membuatmu seperti ini, mengapa selalu saja aku yang menyakitimu. Aku mencintaimu Van .... katakan padaku, bagaimana bisa kulalui hari - hari bila tanpamu, bagaimana aku bisa melewati hidup tanpa engkau disampingku” aku menangis, tak hanya tangis air mata, andai bisa air mata darahpun sanggup aku lakukan asalkan kau sadar, kembali padaku. Aku peluk tubuh tak berdaya itu, melihatnya seperti ini serasa membuat aku hancur berkeping.

“Nda, tenang Nda... please ...!!!” Refa memapahku keluar ruangan. Mengajakku duduk dibawah pohon, mencoba memberi pengertian padaku. Aku tak mau Fa, aku tak mau apapun. Aku hanya ingin dia ..... Tuhan, ya Allah ...... harus seperti inikah jalan takdir hidupku. Harus seperti inikah .... kehidupan yang kau gariskan untukku. Tak bisakah kau ambil aku agar bisa bersamanya. Tak bisakah kau membuat kami bersatu, tidak didunia ini, di surga Mu pun aku rela. Ya Allah, aku hanya ingin dia. Please .... Tuhan, jawab do’aku ... kembalikan dia padaku, untukku ... tak ada yang mampu membawanya kembali padaku, selain Engkau.... tak ada kekuatan satupun yang bisa membuatnya tersadar dari tidur panjangnya, selain cinta dan kasih Mu. Bawa dia untukku Tuhan .... untukku, karena engkau ciptakan kami dari tulang rusuk yang sama, karena kau hadirkan cinta diantara kami tuk menyatukan hati. Karena, aku dan dia Kau ciptakan tuk bersatu, bersama selamanya ...

"Maaf Nda, kondisi Rivan tak bisa tertolong lagi. Ada pendarahan hebat di dalam otaknya, dan menyebabkan terjadinya penyumbatan, hal itu membuat dia hilang kesadaram. Kami sudah memberikan yang terbaik baginya, namun semuanya kembali pada sang pencipta." Aku tertunduk lesu, mendengar penuturan dokter Faizal, yang menangani penyakit dalam. Tak tahu lagi aku harus berbuat apa, tak bisa lagi aku berteriak meminta, bahkan memohon pada siapapun jua. Aku pasrah .... pasrah dengan semua jalan hidup ini. Van, aku sudah berusaha. Meraihmu, menjagamu, membawamu kembali dalam kehidupanku. Andai engkau tahu, tak ada apapun di dunia ini yang ku inginkan selain kesembuhanmu. Tak ada sesuatupun yang berharga selain kehadiranmu disisiku. Menemani hari - hariku, melukis tiap impian. Mewujudkan setiap harapan. Ku gengam jemarinya, ku tatap wajah tampan yang terlelap itu. Kulihat ada senyum tipis menghias bibir indah itu, membuat aku terpana. Dia serasa tersenyum padaku, berbisik pelan di telingaku.

"Nda, aku kan selalu menjagamu. Aku tak akan pernah jauh darimu, selamanya aku ada disampingmu. Please ... hapus air matamu, dengan kepergianku bukan berarti seluruh dunia runtuh menimpamu. Ingatlah selalu, bahwa cinta ini yang akan membuat kita bersama selamanya." Air mataku berderai membasahi pipiku, aku benar - benar serasa hancur berkeping. Sakit ini tak kan pernah ada obatnya, luka ini kan berdarah selamanya, ketika aku menyadari hidupku tanpa arti bila tanpamu. Van, selamat jalan. Biarlah cinta ini menjadi cinta yang tak teraih olehku, biarlah ... kenangan bersamamu tak kan pernah hilang terkikis waktu. Kau kan selalu menjadi cinta pertama dan terakhirku, selamanya. Semoga, esok ... kita kan bersua, bersama merenda asa.


please ...

jangan pergi

jangan tinggalkan aku dalam luka hati

sekali kutetapkan hati ...

hanya engkau yang kuingini


please ...

dengarkan pintaku

aku hanya ingin disini

bersamamu menggapai mimpi - mimpi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar