Senin, 15 Juni 2009

Hatiku hatimu

Malam hadir bawa sepi
Sunyi terasa mencekam membalut hati
Ku raih setiap detik mimpi
Menatapmu dibatas illusi

Perih serasa menusuk kalbu ...
Tak berdaya ...
Walau ada seribu ingin meraihmu
Merengkuhmu tuk jadikan miliku

Sayup sayup ku dengar engkau memanggil namaku
Menghadirkan getar dihatiku
Menyiksaku dalam ketidak berdayaan diri
Dan debar jantung ini, tak mampu kupungkiri

Kau masih ada disana
Bersemayam di hatiku untuk selamanya
Walau kita tak mungkin bersatu
Biarlah hati kita saling bercumbu

Tanyalah pada sang rembulan
Apa kata hatiku ...
Tanyalah pada sang bintang
Rindu ini hanya untukmu

Dan tanyakan pada hatimu
Masih sayangkah kau padaku
Satu yang ku tahu ....
Hatiku hanya sayang padamu



Jumat, 12 Juni 2009

Ketika Cinta Harus Pergi




Senja bergulir, merangkak melewati waktu. Detik demi detik telah terlampaui, menit demi menitpun telah terlewati. Angin berdesir, mempermainkan wajahku. Ku tatap sendu batas cakrawala. Segaris tipis yang memisahkan belahan bumi yang lain, serasa seperti setebal tembok cina yang menghalangi setiap rasa yang ada dihatiku. Aku mendesah lembut, seakan ingin melepaskan beban dihatiku, menghempaskan belitan pedih yang selama ini menguasaiku. Suasanapun semakin hening, dibalut hembusan angin yang serasa memeluk tubuhku, menemaniku menyaksikan keajaiban alam yang tengah terpapar dihadapanku.
“Tak ada lagi yang perlu disesali, tak ada lagi yang mesti ku tangisi. Pergi dan berlalulah, seperti embun pagi.” Aku telah melepasnya, 2 tahun yang lalu kuiringi kepergiannya dengan senyum. Dan aku berharap, suatu ketika dia kembali untukku, utuh dengan semua hati dan cinta yang pernah terjalin diantara hatiku dan hatinya.

Siang itu, diantara keramaian bandara Adi Sucipto aku berlari mengejar waktu. Ada ketakutan mewarnai hatiku, takut bahwa dia telah pergi tanpa ucap satu katapun padaku. Achhh, mengapa mesti ku pentingkan kegiatan kampus ? padahal hari ini dia akan pergi jauh ke negeri orang, hari ini adalah hari terakhir aku bisa melihatnya. Dia … Bima, Bima ku seseorang yang selama ini selalu menghiasi dan mewarnai hari – hariku. Banyak tawa dan canda, begitu banyak kenangan yang terangkum diantara kami. Dan hari ini, aku harus rela melepasnya untuk pergi ke negeri Paman Sam untuk waktu yang cukup lama. Dia mengikuti program pertukaran pelajar dan wajar jika dia yang terpilih karena dia mahasiswa yang memiliki potensi yang luar biasa. Dengan nafas terengah – engah, aku menyibak setiap kerumunan orang, mata ku tak lepas – lepasnya melihat setiap wajah yang melintas di depanku. Serasa perih menusuk jantungku, kala tak kutemukan dia dimanapun jua. Lemas … tak kuasa ku redam detak jantungku, luka itu serasa membelengguku, dan air mata itu tanpa terasa menetes di pipiku.
“Khey …. !” sebuah suara mengusikku, DEG !!! jantungku berdentam. Serasa ada beribu gajah yang menderu dan berlari dalamnya. Ku palingkan wajahku, dan kudapati satu sosok yang menatapku, tersenyum manis menyambutku.
“Bima ... !!!” aku berlari dan memeluknya, seketika rasa pedih itu berlalu dan pergi dari hatiku.
“Kau ... ehmmm mencariku kah ?” Aku tertawa, tersipu dengan ucapannya.
“Emangnya sapa lagi yang aku cari. Aku takut, kau pergi tanpa melihatku ...” Jawabku sambil tertunduk malu. Bima tersenyum, meraih wajahku dan membingkainya dengan kedua tangannya dan menatap mataku lekat.
“Lihat aku, tatap mataku .... dan beritahu aku apa yang kau lihat disana ?” Aku menurutinya, menatap mata indah itu dan .... hatiku bergetar hebat. Duch .... bagaimana mungkin bisa kuragukan hati itu ? bagaimana mungkin aku bisa meragukan semua rasa yang dia miliki untukku ?
“Khey ... jawab pertanyaanku !”
“Maafkan aku Bim, please .... ! aku tahu salah jika aku meragukanmu, hanya saja .... setiap manusia tak tahu apa yang akan terjadi esok. Aku ingin melepasmu tanpa beban apapun, jadi semalaman aku berfikir tentang jalinan ini. Bim, jujur aku tak pernah ingin kehilanganmu baik sekarang atau esok nanti ....”
“Aku pergi hanya sementara Khey .... aku pasti kembali untukmu. Itu janjiku !!”
“Jangan berjanji Bim, karena bagiku janji itu seperti sebuah komitmen. Aku tak ingin mengikatmu dengan janji itu dan pergilah .... !” Ku tatap dia, mencoba memberi keyakinan padanya, bahwa aku akan selalu baik – baik saja tanpanya. Ku tahan setiap derai air mata, aku tak ingin dia melihat kepedihan di mataku. Aku hanya ingin esok, dia benar benar kan kembali padaku.
“Hanya satu pintaku, jagalah kejujuran diantara kita. Esok jika disana kau temukan satu sosok yang lebih baik dariku, lebih segalanya dariku dan kau mencintainya. Kau harus jujur padaku, bilang padaku tentang semua hal itu. Aku akan melepasmu tanpa rasa sakit. Begitupun denganku, aku janji apapun yang terjadi pada hatiku aku akan selalu jujur padamu. Kita awali hubungan ini dengan manis, dan jika kita harus berpisah itupun harus kita akhiri dengan manis.” Bima merengkuhku dalam pelukannya, dan berbisik ...
“Aku akan selalu jujur padamu. Aku janji ...” Aku, mampu kah menjalani hariku tanpamu ? ketika disetiap helaan nafasku hanya kau yang tersebut disana. Ku tatap kepergiannya, giris ku lihat lapisan demi lapisan yang memisahkan antara aku dan dia. Jarak, waktu dan naungan langitpun telah berbeda. Akankah rasa ini akan se abadi harapanku, akankah rasa mu disana kan selalu tetap miliku. Kala di setiap sela harimu, kau lalui bukan denganku. Tapi dengan sosok – sosok baru. Aku tak mungkin bisa bersaing dengan mereka. Aku .... Bim, maafkan aku karena sampai saat ini aku masih meragukanmu.

Awal hari – hariku tanpanya, memang sangat berbeda. Aku benar – benar lesu dan tak bergairah, dan aku benar – benar merindukannya. Disana sedang apakah dirinya ? bersama siapa ? sibuk apa ?. Dan aku benar benar benci diriku sendiri, karena tak bisa menahan hati. Mengapa mesti ku tanyakan ? padahal aku sangat menyadari bahwa setiap pertanyaan itu hanya akan melukai hatiku sendiri. Tak ada yang bisa menghilangkan kerinduan di hatiku selain SMS, Email dan chat dengannya. Untunglah .... teknologi di jaman sekarang sudah begitu canggih, hingga tanpa bertemu langsung dengannya pun aku bisa melihatnya, bercanda dan tertawa dengannya.
‘Malemm sweety ? lagi sibuk apaan nich ? ‘
‘Sibuk mikirin kamu, kangen nich !!’ Bima tertawa, malam ini dia terlihat begitu santai. Tak lagi kutemukan guratan kelelahan dan kepenatan di wajahnya. Dia begitu fresh !
‘Kangen juga sich. Dyuhh jangan ngambek dong !! tuch lihat, kalo ngambek bikin jemariku gatal pengen nyubit.’ Aku tertawa ....
‘Resehhh, cubit aja kalo bisa !’ Bima tertawa ….
‘Yachhh kalo sekarang mah emang nggak bisa, tunggu ntar malemm dech pas kamu bobo, aku cubittt biar tambah merah tuch pipi kamu !’
‘He .. he..he... emang bisa ??? lewat mimpi kah ?? mana berasa sie ... !” Bima tertawa, dia memonyongkan bibirnya sedemikian rupa, membuat aku tergelak. Tertawa melihat tingkah lucunya.
‘Hemm nggak pake cubitan dong, pake cium sayang mau ?’
‘????????’ balasku lucu ...
‘Loohh lupa ya, kamu kan dah kasih password ke aku, cara masuk ke dunia mimpi kamu kan ? jadi mudah aja bagiku masuk dan menyelinap disana. Memberi ciuman selamat malam, agar senantiasa membuatmu ingat bahwa aku selalu ada dimanapun kamu berada”
‘Yeee enak aja, nyuri – nyuri ciuman. Tapiii, menyenangkan sekali andai kamu memang selalu ada dimanapun aku berada. Bim, tugas banyak banget nich. Khey capek ngurus ini itu ... sendirian. Tau nggak, rasanya begitu melelahkan karena tak ada kamu yang selalu ngasih support ke aku. Aku kangen nggak cuma dengan canda tawamu, kangen dengan semua hal yang pernah kita lalui bersama’ Bima menatapku, menempelkan jari telunjuk dibibirnya.
‘Sayang .... sabar ya, ada waktunya kita untuk bersama dan ada waktunya pula kita terpisahkan jarak. Bukankah dari situ kita tahu akan kekuatan cinta ini ? jadi ... biarlah waktu dan jarak yang menjadi penguji atas kekuatan rasa ku dan rasamu.’
‘Yups, maaf ya Bim pasti dech aku mulai merajuk. Cerita dong ! .... bagaimana dengan hari – harimu disana ? adakah cewek yang bisa menggantikan ku disana ? pastinya disana ceweknya cantik – cantik ya ?’
‘Hayooo mulai jelous nie ???’ Aku sedikit merajuk, kala dia bilang aku cemburu. Yach, kuakui aku memang cemburu. Terkadang perasaan itu begitu menganggu, namun kadang kala akupun bisa memahami arti dan hakekat sebuah jalinan. Entah esok engkau jadi milikku ataupun tidak, semua itu adalah yang terbaik buat aku dan kamu. Jauhnya jarak ini, bedanya langit yang menaungi ku anggap itu hanyalah ujian. Mampu tidaknya kita melewatinya semua tergantung dari diri kita sendiri. Namun, terakhir kali ku lihat tatap matamu aku begitu yakin, bahwa kita memang ditakdirkan untuk bertemu, bersama dan selamanya. Ini halusinasiku atau kah karena begitu besarnya harapanku akan dirimu ?

“Hai non, ngelamun lagi ya ?” aku tersentak, tak menyadari akan hadirnya sosok lain yang duduk disampingku.
“Ehmm enggak ... lihat nich, aku lagi sibuk ngetik” Irfan tertawa, menatapku dengan penuh tanya.
“Ngetik apa ngelamun nie ?”
“Yeeee ... nggak percaya, ngetik koq. Cuman lagi buntu nich. Inspirasiku hilang entah kemana gara – gara kamu !”
“Lohh koq aku yang disalahin ? nggak makan siang non ?”
“Nggak, lagi malesss nich. Emang dilarang duduk di kantin kalo nggak pesen makanan ?”
“Wow ... jangan marah dong ! lagi nunggu Bima OL ya ?” Reflek aku tutup notebook didepanku. Dengan cemberut aku menatap Irfan yang tengah tertawa mengejekku.
“Apaan sich ?? enggak lageee. Ngapain nungguin dia !” Aku pura – pura asyik melihat keramaian kantin kampus siang itu. Entahlah .. aku tidak tertarik untuk berdesak – desakan diantara antrian itu, hanya untuk mencoba menu baru di kantin Bang Yous. Aku lebih suka duduk manis sambil menunggu pesanan es juice strawberry kesukaanku, dan asyik dengan notebook ku.
“Kheyla ...ada masalah ?” ku tatap Irfan di depanku, melihat wajah tampan yang pasang muka serius itu hatiku tergelitik untuk tertawa. Dia selalu ada, menemani tanpa kuminta. Entahlah ... kehadirannya kadang begitu mengangguku, namun terkadang membuat aku rindu.
“Ehmm Bima nggak OL ? mungkin dia kirim email ke kamu ? udah dicek non?”
“Please ... jangan ungkit Bima, okey ???” Irfan tertegun menatapku, penuh tanya kala kulihat tatap matanya.
“Boleh cerita koq, ataooo kalo mo nangis dadaku tempat paling aman dan nyaman untuk berkeluh kesah !”
“Enggak ... ndak ada masalah. Makasih buat tawaran kamu. Sorry Fan, aku musti pergi ... !” ku raih notebook di atas meja. Sebelum melangkah pergi, Irfan meraih tanganku ...
“Khey ... please, jangan menghindar dariku. Aku hanya menawarkan persahabatan untukmu, aku hanya ingin menjadi temanmu tak lebih ....” Ku tatap Irfan di depanku, mencoba memahami apa yang dia inginkan dariku.
“Oke ... jujur memang aku suka padamu. Namun aku tahu, kamu tak ingin mengkhianati jalinan yang terjalin antara kau dan Bima. Aku salut Khey, dengan pendirianmu dengan kesetiaan yang kau berikan padanya. Namun, please .... hanya menjadi temanmu saja apakah aku tak pantas ??” duch ... rasanya tak adil bila aku menghindarinya tanpa alasan yang jelas. Akhirnya aku kembali duduk, terdiam tanpa kata. Yang mampu kulakukan hanyalah .... menatap pinggiran gelasku dengan mata nanar.
“Khey, aku nggak akan nanya apapun tentang Bima. Kita ngobrol aja okey ... !!!” Mengapa mesti seperti ini, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sudah 1 tahun lebih aku dan Bima terpisah, dan tak seperti biasanya akhir – akhir ini aku merasakan perubahan yang begitu kentara. Hanya perasaanku sajakah ? atau memang ada sesuatu yang terjadi disana dengannya. Mengapa dia … tak memberi kabar padaku ?
“Hai …. Ngelamun aja ! Khey … Kheyla … !!” Irfan memanggilku sambil mengibas – ngibaskan tangannya di depanku. Membuat aku tersadar dan malu …
“Maaf Fan, aku … !”
“Heii, nggak pa pa koq. Jangan khawatir aku bisa memahami kondisi hatimu saat ini.” Aku menunduk, tak kuasa menatap wajah didepanku. Aku tahu, dia tulus ingin membantuku. Hanya saja Fan, aku tak ingin melukaimu lebih dalam.
“Please … aku tak ingin melihat kamu seperti ini, jika bisa dan memang kalau kamu mau, aku bersedia menjadi pendengar yang baik untuk keluh kesahmu”
“Fan, mengapa kau begitu baik padaku. Padahal selama ini aku selalu menyakitimu. Fan, aku benar – benar tak ingin merepotkanmu. Aku …. !" Irfan menyentuhkan jari telunjuknya di bibirku, meminta ku diam.
"Huussttt …. !!! aku tak ingin kamu bilang seperti itu. Khey, ada banyak jalinan lain yang bisa dijalin. Bukan sekedar jalinan sepasang kekasih, kita bisa menjadi sahabat baik bukan ? dan seorang sahabat akan selalu menjadi sandaran buat sahabatnya, akan menjadi pendengar yang baik untuk semua keluh kesah sahabatnya, akan menjadi pegangan buat sahabatnya yang sedang terombang ambing, menjadi teman dalam segala keadaan." Ku tatap wajah tampan itu, ku lihat sinar ketulusan disana. Tak ada kebohongan ataupun illusi. Bagaimana mungkin selama ini aku begitu buta, yang hanya mendengar omongan semua teman2 dikampus bahwa dia play boy yang suka mempermainkan wanita. Dia, sosok yang tak pernah ku bayangkan akan hadir dan mengusik hatiku. Dan aku …. Masih yang dulu, tak kan berubah untukmu Bim …..

Irfan …. Dia teman sekampusku, gayanya yang cuek dan acuh tak acuh mungkin membuat sebagian kalangan cewek – cewek dikampus begitu tertantang buat menaklukannya. Disamping wajahnya yang diatas rata2, Irfan memiliki senyum yang menawan dan tatap matanya yang terkadang setajam Elang. Dia …. Terkenal sebagai play boy yang suka banget gonta ganti cewek. Dan sudah begitu lama dia berusaha mendekatiku, setelah kepergian Bima …. Dia selalu ada dimanapun aku berada. Aku benar – benar ingin menjaga hatiku, tak kubiarkan sedetikpun sosok lain menyusup masuk dalam relung hatiku. Aku tak ingin memberi harapan apapun pada nya, karena aku memiliki Bima. Sebelum ada kata putus diantara kami, bagiku menjaga hati adalah yang utama dan aku tak pernah ingin mengkhianati jalinan ini.
Entahlah … mengapa aku merasa, bahwa aku harus mulai mengikis harapan demi harapan ini. Bima semakin jauh dariku, dia begitu jarang memberi kabar padaku. Sesibuk apapun dia, seharusnya dia masih sempat untuk menulis email atau pesan offline di YM. Tapi ... itupun seperti sulit dia lakukan, sekedar kirim SMS saja tidak dia lakukan. Tuhan ... apakah ini ujian dari Mu untukku ? aku hanya berharap dia baik – baik saja disana, aku tak ingin terjadi hal apapun atas dirinya. Dan jika memang semua sudah berakhir, aku sangat ingin semua ini diakhiri dengan semanis mungkin. Toh, aku harus bisa menerima kenyataan yang ada. Hanya saja ... mengapa tak ada satu katapun darinya, aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Jika dia telah menemukan sosok lain yang lebih baik dariku, yang benar - benar dia inginkan. Ya Allah ... aku rela melepasnya dengan senyum.
Bukankah aku harus tetap bertahan ? dengan atau tanpanya, hidupku harus tetap berlanjut. Rasanya sudah waktunya aku menata hidupku kembali, setelah sekian lama aku hanya berdiam diri, berfikir tentang nya, jalinan ini dan semua hal yang telah terjadi. Aku harus melupakannya, menghapusnya dari setiap mimpi – mimpiku dan kembali membangun impianku sendiri tanpa dia ataupun nama dan bayanganya. Aku tetap menunggumu Bim, aku hanya berharap semua bisa terlewati dengan baik – baik saja.

Hari ini, aku harus menemui Dosen pembimbing skripsiku, mengajukan BAB III atau BAB PEMBAHASAN. Aku berharap Bab inti ini bisa kulewati tanpa masalah dan tanpa banyak pembenahan. Satu jam aku terkurung dalam ruangan 4 X 3 m2, mendebatkan isi skripsi ku yang dinilai kurang mengena atau tidak sesuai dengan judul yang kupilih. Bagaimana mungkin ?? semua penelitian yang kulakukan, setiap riset yang kukerjakan dan semua sampel yang ku pakai semua memenuhi persyaratan. Dan terlebih semua buku literatur yang ku gunakan pun mendukung hasil penelitianku. Apa daya ku ? aku hanya seorang mahasiswa, dan semua harus menurut apa yang dikatakan para dosen pembimbing. Mereka bilang A maka harus A, jika merah maka harus merah. Dengan lunglai aku keluar dari ruangan. Entahlah ... seluruh wajahku pasti sekucel kertas putih yang diremas remas dan dibuang ke dalam sampah. Aku ingin menangis, menjerit dan menumpahkah semua beban ini. Duchh ... mengapa harus begini ? masalah yang satu belum kelar dan bertambah dengan masalah yang lain.
“Khey ... !!!” Ada satu tepukan lembut hinggap di pundakku, dengan tanpa gairah ku tatap Irfan yang nyengir melihatku. Dia terkejut, ketika melihat wajah kuyu ku ...
“Khey .. ??? ada apa ?” Ku tatap map yang berada dalam dekapanku. Irfan seakan memahami apa yang sedang terjadi. Dengan tergesa, dia meraih tanganku dan menarikku agar mengikutinya. Hari ini ... rasanya aku ingin bebas dari semua belenggu rasa. Ingin kubiarkan semua nya berlalu dan aku hanya akan diam menatap semuanya. Tanpa melakukan apapun, lelah …. Jiwaku serasa lelah tak berdaya. Luruh …. Seperti kapas yang diterbangkan angin, akupun akan mengikuti angin itu kemanapun dia ingin menerbangkanku. Bim .... dimana kau kini ? tak tahukah disini aku berharap engkau hadir dan memberiku seribu dukungan tuk buatku bertahan ?? Tapi saat ini, detik ini sosok yang sedang berusaha menghiburku, yang sedang berusaha memancing tawaku, yang memberiku dukungan dan pengertian bahwa semua pasti ada jalan keluarnya. Bukan kau Bim, tapi sosok lain .... aku ingin saat ini kaulah yang ada didepanku, kau lah yang sedang berusaha menghiburku, kau lah yang selalu disampingku. Mimpi ... hanya impiankah ?? sedangkan saat ini kau tak tahu kabar beritanya, kau menghindariku seperti aku ini adalah penyakit paling manular dan mematikan. Bagaimana mungkin aku sanggup bertahan, jika kaupun menghindariku, tak memberi kabar, tak pernah menghubungiku.
“Khey ... hello ...!!!” Aku terkejut, mendengar teriakan Irfan.
“Maaf ... maaf ... please !!!” aku sudah mengabaikannya, tak mendengarkan semua omongannya. Entahlah ... aku benar – benar nggak fokus dengan semua pembicaraan kami. Dan ... kulihat wajah kecewa yang berusaha ditutupi dengan senyum dan tawa. Lagi ... dan lagi aku menyakitimu, lagi dan lagi aku mengecewakanmu.
“Fan ... maaf, aku benar2 kacau saat ini” Irfan mengangguk kecil, dan kembali menatap sekeliling kami. Dan aku baru tersadar bahwa saat ini aku berada di sebuah Mall pusat perbelanjaan dan duduk disalah satu sudut pujasera. Dan sedari tadi aku melamun dalam duniaku sendiri tanpa menyadari keadaan sekelilingku ??? duch ... benar2 sudah gawat keadaanku.
“Khey ... sudahlah, aku mengerti koq. Jadi intinya … kamu musti melakukan penelitian ulang ?" Aku mengangguk mengiyakan.
“Skripsi kamu, gimana kelanjutannya ? sudah sampe Bab berapa ?” Irfan tertawa lepas, seperti tak ada beban di hatinya.
“Woww skripsiku ?? masih jauh non. Jangan ditanya, bikin malu saja !”
“Fan ... “ ucapanku terhenti, ketika tanpa sengaja aku melihat sekelebat sosok yang kurasakan sangat mirip dengan Bima. Berjalan melintas di antara orang orang yang berlalu lalang di Mall itu. Reflek aku berlari, mengejar sosok itu dan berharap semua yang kulihat hanyalah halusinasiku. Tak kudengarkan teriakan Irfan di belakangku, diapun berlari mengejarku. Aku hampir saja kehilangan jejak sosok itu, namun sekilas aku melihatnya dia akan masuk ke sebuah counter Distro.
“Bima !!!” teriaku. Dan ya Tuhan .... dia benar – benar Bima. Dengan setengah berlari aku mendekatinya, berusaha meraih tangannya namun ..... ada sepasang jemari lentik memeluk lengannya. BUKK !!! BEEUUMM !!! seperti dijatuhi granat jantungku. Pecah dan meledak tanpa bisa ku bendung. Rasanya emosiku sudah mencapai ubun – ubun. Di saat genting itu Irfan dan datang dan meraih tanganku. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba meredam emosiku. Ku tatap Bima yang terpaku melihatku. Dia benar – benar syok saat melihatku. Entahlah ... ku rasa kan seperti ada kepedihan di tatapan matanya, aku tak tahu dan aku benar – benar tak mau tahu.
“Khey ... maafkan aku. Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku bisa menjelaskannya, please ... dengarkan aku !!”
“Bim ....” aku tak kuasa meneruskan ucapanku, rasa sakit dan perih yang merajah sanubariku serasa tak mampu ku tahan lagi. Bukan penghianatannya yang ku sesali, bukan ketidak setiaannya yang melukaiku tapi kebohongan yang selama ini dia tutupi dan dia sembunyikan dariku yang menyakiti hati ku lebih sakit dari apapun juga. Tanpa kata, aku berlari meninggalkannya. Tak ada yang perlu dijelaskan, tak ada yang perlu di katakan, semuanya sudah berakhir dan tamat sampai disini. Pergilah ... pergi, jangan usik aku lagi. Dan mungkin ini adalah yang terbaik dari yang terbaik yang musti terjadi diantara kita.

Senja ini ... terakhir kali aku melihatmu. Mendengarkan semua cerita dan pembelaanmu. Aku tak punya apa apa lagi, tak ada rasa apapun di hati. Semua kepercayaanku selama ini, kau abaikan begitu saja tanpa pernah kau coba mengerti. Ombak berdebur dipantai, menerjang batu batu karang dan menimbulkan suara gemerisik yang memecah kesunyian.
“Khey, aku khilaf ... bagaimana musti aku jelaskan padamu. Aku tidak pernah mencintainya, aku dijebak Khey ! Coba dengarkan aku …. Mengerti posisiku saat itu. Aku terjepit. Dia adalah satu – satunya kesalahan yang kulakukan, dan dia adalah satu – satu nya hal yang tak pernah aku inginkan. Aku masih Bima mu yang dulu …” aku menunduk, menekuri pasir – pasir putih di ujung kakiku. Memainkan ranting yang sedari tadi aku pegang. Bagaimana aku musti mempercayai cerita ini ? kau dijebak seorang wanita, melakukan sesuatu yang kau rasa tak pernah kau lalukan denganya dan akhirnya dia mengaku hamil di luar nikah denganmu ?
“Khey … tatap aku, lihatlah …. Kebohongan atau kejujuran yang ku katakan padamu saat ini !” tidak … aku tidak mau lagi dibohongi oleh tatapan tulus dimatamu, tidak Bim … ! namun .. tetap saja aku menurutinya. Menatap indah bola matanya, yang memancarkan begitu banyak luka. Kau terluka … rintih batinku pelan. Mengapa aku pun merasa terlukai ? aku merasakan sakit yang kau rasakan, merasakan pilu yang mendera batinmu. Hanya sayang … aku tak bisa lagi merengkuhmu. Bagaimana mungkin luka itu ada disana, tak kulihat satupun sinar kehidupan, tak ada kasih dan sayang dan yang ada hanyalah kepahitan.
“Bim … aku tidak menyesali semua yang telah terjadi, hanya saja mengapa kau bohongi aku ? mengapa tak kau katakan semua yang telah terjadi ? aku memang merasa tersakiti, merasa kau lukai dengan pengkhianatanmu, tapi aku lebih sakit dengan kebohongan dan ketidak jujuranmu. Jadi Bim … semua sudah usai dan selesai, tak ada apapun lagi diantara kita. Jaga dirimu baik – baik Bim …. !” Aku melangkah menjauh, menyusuri pantai Parang Tritis yang mulai digayub senja. Tak kudengar kan lagi teriakan Bima di belakangku. Andai engkau tahu, aku seperti makan buah simalakama. Bila aku makan aku akan mati, bila tak ku makan aku pun tetap mati. Jadi lebih baik ... ku biarkan semuanya pergi. Maaf kan aku Bim, andai kau memang masih mencintaiku. Namun aku tetap tak bisa meraihmu kembali. Ada sosok lain yang lebih membutuhkanmu, untuk selalu bersamamu dan kau harus selalu berada disampingnya. Walau sebesar apapun aku mencintaimu, rasanya tak adil bila aku hanya mementingkan perasaanku. Jaga dia Bim, cobalah untuk membuka hatimu padanya. Mungkin dia yang terbaik bagimu, bagi hidupmu dan bagi kebahagiannmu. Tak ada yang sakit dan disakiti, kita berdua sama – sama sakit dan terlukai. Namun ... alangkah arifnya bila kita tidak melukai hati yang lain. Biarlah hari – hari esok kan ku lalui, sendiri tanpamu. Yakinlah ... esok masih ada hari yang lain ...