Rabu, 10 Maret 2010

Jangan Panggil Aku "Byla"

Bagian Pertama


Siang … tapi tak seperti layaknya siang hari, awan hitam itu berarak – arakan menyelimuti kota. Suasana semakin terasa mencekam, angin berdesir lirih membawa rintik hujan yang turun perlahan. Ku masukan semua berkas skripsi ke dalam Map plastik yang ku bawa. Hari ini aku mengajukan bab 2 ke dosen pembimbingku, ku tatap sekilas map itu, dengan jelas aku bisa melihat tiap coretan dan tanda tanya besar yang tergambar di atas kertas putih itu.

“Anda tahu yang dimaksud dengan Hipotesis ??” Aku terdiam, percuma rasanya jika aku memberikan jawaban. Karena jawabanku akan tetap salah menurutnya. Aku hanya mampu diam saat beliau membolak balikan setiap lembaran kertas itu.

“Skripsi apa ini, bagaimana mungkin anda mampu menyelesaikan skripsi jika anda tidak memahami cara penulisan dan perumusan masalahnya ???” ku lihat jemari itu mencoret setiap kata yang telah tersusun rapi itu. Dibalik di coret, dibalik lagi dan dicoret lagi … dyuhhh begitu banyakkah kesalahan yang telah aku lakukan ???

“Dengar … !!” ku lihat Bu Rani mengatur nafasnya, meredam setiap emosi yang ku rasa hampir pecah itu.

“Perumusan Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang anda teliti dan kebenarannya perlu diuji secara empiris …” masih terngiang ditelingaku semua ucapan Bu Rani. Pusing seketika menerjang otakku, entahlah perjuangan ini akankah mampu kuteruskan. Satu tetes air hujan menyadarkanku dari lamunan. Dengan tergesa ku masukkan map itu ke dalam tas, dan dengan setengah berlari aku menuju halte di depan kampus. Rintik hujan itu tak lagi selembut awalnya, tetes airnya semakin deras dan cukup untuk membuatku basah kuyup karenanya. Namun … tiba tiba aku merasa aman, terlindung dari hujan dan bersamaan dengan itu …

“Hai cewek … pulang bareng yuuk !!” aku mendengar suara itu, suara yang tanpa kuinginkan selalu menghantuiku.

“Hai juga … “ Jawabku perlahan. Ku hentikan langkahku, berdiri dibawah payung berdua diantara derasnya hujan yang menguyur. Jeans ku sudah basah sampai batas lutut. Rambutku tergerai, berkibar tertiup angin hingga membuatku kepayahan untuk merapikannya dan … dingin terasa sampai ke tulang.

“Hujan non … mendingan aku antar pulang dech !!!”

“Makasih … pi aku bisa pulang sendiri koq. » Aku kembali melangkah namun terhenti ketika aku merasa tangaku tertahan.

"Please ... sampai kapan sich kamu menghindari aku ? emang segithu besarnya kesalahanku hingga membuat kamu nggak bisa maafin aku ?” Aku diam ... menatap tiap tetes air hujan yang turun dari atas payung, jatuh dan pecah tepat dibawah kakiku. Kedua tanganku memeluk erat tas yang kubawa. Seakan ingin melindungi setiap isinya dari curahan hujan, atau ... itu adalah benteng pertahananku terhadap cowok didepanku ? entahlah yang ku tahu aku tak ingin dia terlalu dekat dengaku.

"Byla ... aku tak pernah bicara apapun tentang kamu dengan mereka, tidak Byl ... tidak pernah. Bahkan aku baru tahu hal itu dari mereka ... !!! " Aku berlari ... tak lagi kupedulikan teriakan Raka di belakangku. Ku biarkan air hujan itu membasahi seluruh tubuhku. Bahkan Tas yang ku bawa sudah terasa lembab dalam pelukanku. Tak lagi ku perdulikan bagaimana nasib skripsiku. Aku tak mau tahu …

Air mata … entahlah sejak kapan aku melupakan keberadaan air mata ini. Tiba – tiba saja air itu tumpah dan membasahi pipiku. Air mata yang sudah lama tak lagi mampu mengalir dari dari kelopak mataku, air mata yang kurasa sudah habis untukmu … di pusara merah itu.

Senja itu masih terasa segar dalam ingatanku, malam minggu tepat di ulang tahunku. Aku dan dia duduk di atas rumput di tengah alun – laun selatan, suasana saat itu terasa begitu meriah, banyak anak – anak kecil yang berlarian, muda mudi yang duduk berpasangan di trotoar yang mengitari alun – alun. Ku lihat kerlap kerlip lampu – lampu kecil dari setiap penjual mainan yang sedang laris manis di kerubungi para pembeli. Tua muda remaja bahkan anak – anak sibuk melemparkan mainan yang terbuat dari kertas yang dilengkapi kerlip lampu warna warni itu ke atas. Mereka melemparkannya ke atas dan benda kecil itu akan melayang, berputar putar membentuk siluet cahaya yang indah di atas udara, sebelum benda itu terjatuh ke tanah. Disana … ditengah – tengah alun – alun diantara kedua beringin kembar banyak orang yang mencoba permainan menutup kedua mata dengan kain dan berjalan melewati jalan diantara kedua Beringin Kembar itu. Alun-alun selatan bentuknya hanyalah sebuah lapangan kecil, berada di belakang Kraton, dan sebelah timur Tamansari. Dulunya merupakan tempat latihan baris-berbaris bagi prajurit Kraton serta sebagai tempat sowan abdi dalem beserta prajurit pada malam-malam tertentu. Sekarang, karena sebagai ruang publik, masyarakat bebas menggunakannya untuk sarana hiburan atau rekreasi. Ada beberapa penyedia jasa mainan anak-anak, kereta mini, andong (kereta beroda 4 yang ditarik kuda), motor mini, becak mini, sepeda, hingga deretan penjual jagung bakar serta makanan dan minuman lainnya.

"Ayoo .. !" Ajak Bian sambil meraih tanganku, menariknya agar berdiri. Tanpa menunggu persetujuanku dia berjalan sambil mengandeng tanganku agar mengikutinya.

"Bentar nie ... mo kemana sie ??" Bian tak mengubris pertanyaanku, dia berjalan ke arah bapak – bapak yang menyediakan jasa menyewakan penutup mata seharga Rp. 3.000. Dia berhenti, berbicara sebentar dan tangannya menerima uluran kain penutup mata itu.

"Ogahh ... aku nggak mau Bee. Jangan bilang ya ... kalo kamu nyuruh aku mencoba permainan itu !" Bian tersenyum tertahan. Aku berlari menjauhinya ... bukannya mengejarku dia bahkan berdiri tepat di tengah, dan jika ku tarik garis lurus maka posisi Bian tepat ditengah diantara Sasono Hinggil Dwi Abad dan Plengkung Gading. Perlahan aku mendekat, melihatnya mengikatkan kain itu ke mata, diam sejenak dan ... perlahan dia mulai berjalan … aku berlari mengikutinya. Meminta permisi pada setiap orang yang dilalui jalanya. Satu persatu orang – orang itu menyingkir memberi jalan pada Bian. Aku terpekik ... ketika melihatnya berjalan lurus ke tengah – tengah diantara kedua pohon beringin itu. Tepat di antara keduanya, Bian berhenti dan membuka matanya. Ku lihat dia tertawa menyambutku ... aku berlari ke arahnya dan memeluk lengannya.

“Ehmmm … hebat … hebat, oke … oke … aku percaya koq kalo kamu emang bener2 orang baek en luruss !” Bian tertawa …

“Apa hubungannya ? jangan bilang kamu percaya ma hal – hal seperti itu ya …”

"Napa enggak ?" jawabku merajuk

"Oke ... kalo githu tuan putri juga musti nyobain juga nie!" Bian berjalan kembali ke arah tempat dia memulai permainan itu dan aku mengikutinya. Ketika kain hitam itu menutup kedua mataku, Bian berbisik …

“Ucapkan keinginanmu … jangan ragu, melangkahlah dengan keyakinan dihatimu” Aku mengangguk, menata hati dan fikiran dan ku baca Bismillah sebelum aku mulai melangkah … apa yang kurasa ??? ketika mulai melangkah, yakin aku tak pernah berbelok dan aku merasa jalanku lurus menuju ke tengah tengah kedua beringin itu. Jalan yang kulalui … benar benar terasa begitu gelap, ada sebersit rasa takut. Semakin melangkah aku semakin merasa dilingkupi kegelapan, suara yang terdengar hanya suara bisik bisik dikanan kiriku. Padahal seingatku suasana alun – alun begitu ramai. Tapi … dengan mata tertutup ini, aku seperti sendirian ditengah alam yang tidak aku kenal. Hingga pada akhirnya aku mendengar suara Bian menyembut namaku …

“Byl … buka tutup matamu !!!” Aku berhenti dan dengan perlahan aku membuka penutup mata itu dan … whatttt … aku kaget setengah mati, bukannya berada di tengah tengah diantara kedua pohon beringin itu, tapi aku malah berada disamping Pohon beringin wanita. Menurut cerita orang Pohon Beringin yang besar dan tinggi itu Pohon Beringin Laki – laki tapi yang lebih sedikit kecil atau yang agak kecil itu pohon Beringin Wanita. Jadi yang disebelah kiri itu pohon Beringin laki laki dan yang kanan adalah pohon Beringin Wanita. Aku tertawa malu melihat hasil permainanku, dengan tersipu aku menyembunyikan wajahku dalam lekukan bahunya.

“Yeee … napa musti malu ? kita coba lagi yuukk … !!!” ajaknya. Aku menggeleng pelan, ku serahkan kain penutup mata itu ke arahnya. Bian terdiam, menatapku dengan sedikit heran karena tiba – tiba saja aku berubah menjadi pendiam.

“Menurut cerita dan kepercayaan orang, hanya orang – orang yang memiliki hati lurus yang bisa melewati jalan di tengah kedua beringin itu, dan itu berarti mereka bisa mencapai setiap keinginan dan mimpi mereka. Dan aku nggak bisa melewatinya, itu berarti impian dan keinginanku nggak mungkin tercapai …”

“Huuusssttt …. !!!” Bian menempelkan jari telunjuknya ke bibirku …

“Itu kata mereka, semua kembali pada usaha kita Bylla sayang … dan udah dech, nggak usah diambil hati en terlalu dipikirin oke. Tyuhhh … jadi makin cantik dech kamu kalo cemberut … hahahaha !!!” Bian tertawa meledekku, aku semakin manyun … kau tak tahu keinginan apa yang kuucapkan sebelum melangkah tadi Bee .. bisik hatiku.

“Byl … naik sepeda aja yuukk ... !!! kayak na asyik tyuhhh !!” Bian merangkul pudakku, mengajakku ke arah penyewaan sepeda kayuh. Sepeda itu unik, jadi kalau sepeda normal itu satu stang dengan satu pasang pedal, kalau sepeda ini tidak seperti itu, tapi ini satu sepeda ada yang 2 stang dan 2 pasang pedal untuk 2 penumpang dan ada juga yang 3 stang dan 3 pasang pedal untuk 3 penumpang. Bian menyewa satu sepeda dengan 2 stang dan 2 pasang pedal. Bian naik di depan, dan aku bagian belakang. Kami mulai mengayuh bersama, sesekali kami berhenti saling menggoda dan tertawa kemudian kami mulai mengayuh kembali mengelilingi alun – alun selatan.

Cape’ juga nie tuan putri ... » aku tertawa melihat wajah imoet itu terlihat kepayahan.

“Kamu sie … bukannya ikut ngayuh tapi … enak – enakan Cuma ngikutin doang ! dah gtw … mending kalo kamu kecil lha … ini … !!!” reflek aku mencubit pinggang Bian, merenggut dengan mimik marah …

“Ini apa coba ? gendut maksud kamu ? reseeehh ya ... !!! » Bian lari menjauhi jemariku, yang siap menerjangnya dengan jurus cubitan maut. Kami berlarian di tengah alun – laun, saling kejar – kejaran, tertawa dan rasanya alun – alun malam itu adalah milik kami berdua. Banyak pasang mata yang melihat kami, tertawa melihat tingkah laku kami yang seperti kanak – kanak. Dan Bian tetap tak mampu terhapuskan dari memoriku terlebih ... malam itu setelah mengantarku pulang ...

"Happy birthday sweety, smoga segala impianmu dapat terengkuh olehmu" Bian memberiku sebuah kado kecil yang terbungkus kertas kado warna pink. Menatapku begitu lama ... dan membuatku terpaku. Dia membingkai wajahku dengan kedua tangannya menatap lekat mataku. Aku melihat begitu banyak pelangi yang melintasi binar mata indah itu, wajahnya begitu indah dalam ingatanku. Malam itu untuk pertama kalinya sejak kami jadian dia menciumku.

Namun malam itu tak berakhir indah seperti harapanku, belum lagi aku membuka kado darinya. Aku mendapat kabar bahwa Bian kecelakaan, Kiki menelponku dengan menangis terisak – isak. Aku tak bisa melakukan hal apapun, seluruh tubuhku terasa lemas tanpa tenaga. Tak ada lagi yang ada di pikiranku selain Bian ... dengan tergesa aku naik Taxi dan meluncur ke Rumah Sakit Panti Rapih, aku berharap Bian baik – baik saja. Aku berharap aku masih bisa melihat senyum diwajahnya. Malam itu suasana Rumah Sakit terasa begitu lenggang, maklum malam sudah begitu larut, ku lihat jam dipergelangan tanganku, jam 22 :30 menit. Berdasarkan informasi dari resepsionis aku mencari Bian di UGD, di sana yang kulihat adalah Kiki, Radith, Boy, Silva dan beberapa teman dekat Bian. Kiki mendekatiku, memelukku sambil menangis. Kemudia Silva pun memelukku sambil menangis. Boy dan Radith menepuk pundakku seakan ingin memberiku kekuatan.

"Tenang Byl ... "

"Mana Bian ? Boy ... Dith ... Bian nggak pa pa kan ? jawabb !!!" tanyaku sambil menatap wajah kusut mereka, tak ada jawaban yang kuterima hanyalah tatapan kepedihan di mata mereka. Entahlah ... aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada Bian, dengan hati yang diliputi kecemasan dan tanda tanya aku berlari menghambur masuk ke ruang UGD. Namun Radith mencegahku , melarangku masuk ke dalam.

“Tenang Byll … !!!”

“Aku mau masuk Dith, aku harus tahu keadaan Bian …”

“Bian tidak ada di dalam … dia sudah dipindahkan”

“Maksud kamu ? truss kenapa kalian disini ? kenapa kalian tidak menemaninya ? …. Kenapa ???” Mereka semua terdiam …

“ Kami sedang menunggu kedatangan orang tuanya …” Aku bingung … kutatap wajah wajah sahabatku. Tak ada yang mampu menatap wajahku, mereka hanya mampu tertunduk … Kiki mendekatiku, memelukku dan mengajakku untuk duduk …

“Byll … kamu yang tabah ya … kamu harus kuat Byll … kamu harus bisa menerima kenyataan ini”

Ada apa ini ??? ngomong aja dech Ki, gimana keadaan Bian ???” Kiki kembali memelukku dan berbisik …

“Bian sudah pergi Byll, dia meninggal sebelum dokter sempat menolongnya …!”

“Apaaaa ???? Bian … Bian … Biaaaaaaannnnnnn !!!” Aku menangis, berteriak, meronta dalam pelukan Kiki … Tidakk, aku tidak bisa kehilanganmu, aku nggak mau kau pergi meninggalkanku … jangan Bee … Jangan … baru satu jam yang lalu kau yakinkan aku bahwa impianku dapat terwujud, kini kau tak boleh memupus dan menghancur leburkan impian itu. Bee … aku nggak mau kehilanganmu, Tuhannnnn … Ya Allah tolong aku, bawa kembali belahan jiwaku. Aku menangis, menjerit … tak kuasa menahan hati yang terasa perih tiada terkira, akankah luka ini bisa menutup kembali, apa mungkin waktu mampu menyembuhkannya. Namun apa daya, kehilangannya tanpa mampu tuk ku cegah, walau aku menangis darah sekalipun kau tak akan kembali.

Bee ...
Tersebut segala hal hanya satu yang kutahu

Tersadar segala rasa hanya satu yang terasa

Terikat segala asa hanya satu yang terbiarkan tetap ada

Memenuhi seluruh ruang di impianku

Ketika mimpi terukir di dinding hati

Melambungkan asa ...

Menerbangkan rasa ...

Merasuk mengikuti setiap aliran darah hingga ke nadi

Bergetar memenuhi setiap sudut relung jiwa ini

Menjadi satu jiwa yang lain selain jiwaku

Menjadi satu nafas yang lain dalam hidupku

Dan menjadi udara bagi hidup dan matiku


Bee ...

Terbanglah jauh ...

Kepakkan sayapmu mengapai awan biru

Hinggaplah dimanapun kau ingin singgah

Sandarkan tiap impian kala kau lelah

Disana ...

Diantara keindahan bunga nirwana

Diantara merah, kuning, biru sang pemuja


Di tiap persinggahanmu ...

Di tiap angan yang menghampirimu

Di tiap kelelahan yang melingkupimu

Hanya satu pintaku ...

Biarkan pelangi itu hanya untukku ...

Kepergiannya tak hanya menyakitiku, tak hanya melukai batinku namun kepergiannya menorehkan kebencian dari orang tuanya padaku. Mereka menganggap bahwa akulah biang keladi dari semua itu. Aku yang menyebabkan Bian kecelakaan dan meninggal … akulah semua sebab yang membuat putra satu – satunya, kesayangan mereka meninggal dunia. Bee … aku tahu rasa sakit dan kehilangan yang mereka rasakan, karena akupun merasakan hal yang sama. Aku yang hingga kini tak mampu melupakanmu, walaupun sudah 2 tahun yang lalu kau pergi meninggalkanku. Aku masih bisa merasakan hangatnya pelukmu, aku masih bisa merasakan wangi parfummu, aku masih saja merasa kau ada disampingku hingga kini. Andai kau tahu Bee … malam itu ketika kita melakukan permainan masangin, hanya satu pinta yang terucap dari hatiku “Aku hanya ingin selalu bersamamu, selalu …” dan nyatanya impian dan keinginan ku itu tak kan bisa teraih olehku, karena saat itu juga kau pergi meninggalkanku. Bee … aku tak akan mungkin bisa menggantikanmu dengan siapapun sosok yang datang di hari – hariku, kini … esok ataupun nanti …

“Non ... mau cari buku apa ? ngelamun aja dari tadi ? » Aku terkejut, tersadar dari lamunan panjangku. Pak Toga pemilik kios buku di area Shopping center menyapaku, aku tersipu malu. Ku hapus setitik air mata yang mulai menggenangi mataku, ku ulas senyum semanis mungkin.

“Echh … Pak Toga, enggak pak … cuman liat liat aja koq. Sapa tahu ada buku yang sesuai isi kantong, hehehehe !” selorohku. Aku sering membeli buku di kiosnya, entah buku baru ataupun buku – buku bekas yang aku rasa sesuai dengan nilai kantongku. Ehmmm … siang ini lumayan terik, ku lihat begitu banyak orang yang berdesak – desakan menyusuri tiap lorong kios hanya untuk mencari buku yang diinginkannya. Shopping adalah tempat penjualan buku bekas dan baru dengan harga murah dan jauh dibawah harga toko – toko buku seperti Gramedia ataupun toko – toko buku lainnya. Shopping terletak di depan kantor pos Yogya, dan sekarang di sana telah di bangun area rekreasi, bermain dan belajar “Taman Pintar” namanya. Di hari – hari libur banyak pengunjung yang datang, entah dari warga Yogya sendiri atau wisatawam dari luar daerah. Aku duduk di kios Pak Toga, ku seka peluh yang bercucuran membasahi tubuhku. Pak Toga sibuk menata buku, memilah – milah dan membedakannya berdasarkan kriteria dan jenis buku.

“Non, bapak mau cari kopi dulu … bisa minta tolong jagain kios bapak ?"

"Siappp komandan, pasti Byla jagain pak ... sipp dijamin nggak bakalan ada yang ilang " aku mengambil posisi siap di depan Pak Toga, tak lupa tanganku pun berlagak seperti seorang prajurit yang siap menerima perintah dari atasannya. Pak Toga tertawa ... wajah keriput itu masih terlihat begitu penuh wibawa, tubuhnya masih terlihat tegap tak seperti orang tua yang seusianya. Maklum dia adalah mantan Prajurit tentara veteran ... di usianya yang sudah semakin lanjut, dia tetap saja tak mau berpangku tangan.

"Buku ini berapa mbak ?? " Ku lihat seorang cowok memperlihatkan sebuah buku yang berjudul "Membangun server sederhana dengan Mikrotik OS"

"Bentar ya mas ... " jawabku, sambil sibuk mencari daftar harga buku yang biasanya disimpan Pak Toga dibawah rak buku.

"ehmmm ... itu harganya Rp. 47.500,00 diskon 5 % jadi harga net nya Rp. 45.000,00” Jawabku sambil menjawab pertanyaan para pengunjung kios yang menanyakan beberapa judul buku yang diinginkannya. Dyuhhh … Pak Toga pergi malah kios kebajiran pembeli. Ku seka peluhku, tersenyum setiap ada pembeli yang datang dan menyilahkan mereka mencari buku yang diinginkannya ataupun sekedar melihat – lihat.

"Nggak boleh kurang mbak, uangku tinggal Rp. 40.000,00 nich !" Jawabnya menawar harga buku itu. Aku mendongak, menatapa wajah di depanku dan … aku tersentak kaget hingga tanpa sadar aku mundur beberapa langkah. Dia … tidak, tidak mungkin … Bian sudah meninggal. Jantungku berdegub kencang, keringat dingin seketika mengalir dari tengkuk, wajah hingga seluruh tubuhku.

Napa mbak ??? kayak liat setan aja, emang wajahku mirip setan ya ??? tapi cakep kan ???” seloroh cowok itu. Ku coba mengatur nafas, meredam emosi yang seketika mencengkeramku. Aku butuh 3 menit untuk bisa berlaku normal kembali. Ku tekan degub jantungku, ku redam seluruh getar yang tak ku tahu dari mana datangnya.

“Maaf mas … saya cuma kaget …”

“Kaget … ? kaget karena melihat saya ?”

“Enggak … Cuma kaget saja. Gimana buku nya, jadi nggak ? itu sudah harganya … jadi maaf !!!” Jawabku sesopan mungkin.

“Ya udah … saya beli dengan harga Rp. 45.000,00, tapi … dengan satu syarat “

“Syarat ???” tanyaku heran

“Boleh kita kenalan ? namaku Raka …” Dia mengulurkan tangan menanti sambutan dariku. Namun aku hanya diam terpaku tak tahu harus bagaimana. ….

“Helloooo … !!! hei nona … !!!” teriaknya sambil menjentikan jemarinya di depanku

“Waduuh cantik cantik koq suka bengong sie ???” aku tersadar … dengan sedikit jengah aku membalas uluran tangannya.

“Byla …” Jawabku datar. Dia tersenyum, ada kerlingan jenaka di matanya. Duch ... aku tak mau terperangkap masa lalu. Walaupun dia bukan sosok dari masa laluku tapi semua yang ada di dirinya seakan membawaku ke masa lalu, masa yang sangat ingin aku lupakan. Untunglah Pak Toga datang, aku menyerahkan kembali urusan kios ke Pak Toga, berpamitan sebentar dan aku melangkah menjauh. Tak ku hiraukan teriakan dari Raka yang memanggilku. Please ... jangan usik aku, mengapa Tuhan Kau hadirkan kembali seraut wajah yang hanya bisa melukaiku, yang hanya bisa memerahkan luka yang tak pernah bisa kering ini. Mengapa ... ??? berapa banyak stock wajah yang Kau ciptakan menyerupainya, apakah ini ujianMu untukku ?? Aku hanya ingin Bian, bukan yang lain. Karena dia bukan Bian ku ... bisikku kelu.

“Cewek … hayooo gie ngelamunin aku ya ???” Aku tersentak kaget. Reflek aku menutup Notebook di depanku. Suasana kantin sudah lenggang … ku lihat kiri kanan namun hanya ada satu dua mahasiswa semester 3 yang sedang ngobrol sambil asyik menikmati cemilan di depannya. Aku mendesah panjang, mencoba menghindari pandangan cowok di depanku, Raka … ya selalu dia yang hadir di setiap kesendirianku. Raka … mahasiswa pindahan dari Jakarta yang berkenalan denganku di kios Pak Toga, yang ternyata satu kampus denganku, dan ternyata mahasiswa semester 5 Fakultas Teknologi Informatika pada saat itu. Satu tahun aku menghindarinya, menolak setiap jalinan yang dia sodorkan. Menghindarinya bagai penyakit menular bagiku, namun apa mau dikata … dia selalu ada tanpa ku minta.

“Hai … boleh aku duduk ?” tanyanya, aku hanya mengangguk pelan.

“Apa kabar Byl ? aku dengar kamu sedang ngerjain skripsi sekarang …” Aku menatapnya, tersenyum simpul dan kembali mengangguk kecil.

“Kamu ?”

“Waahhh kalo aku kalah jauh ma kamu. Baru ngajuin proposal nie, susah juga. Semoga proposal yang ke dua ini ACC dech. Maless kalo bolak balik ditolak ...”jawabnya enteng. Raka nyengir melihat gelas dan piring yang masih penuh di depanku.

“oouww … lagi bad mood ? wahh sayang tyuhh Byll. Mubazir taux … sini, sini aku aja yang ngabisin !!! » tanpa permisi Raka minum Juice di depanku. Aku terpaku melihatnya ... kulihat dengan sekali teguk lenyap tanpa sisa. Dan sedetik kemudian dia menutup mulutnya dan berlari ke arah toilet. Aku tertawa ... rasain tyuhh ... emang enak minum Juice wortel ??? Aku bersiap siap pergi, ku masukkan Notebook ke dalam tasku, menyelesaikan pembayaran dan .... tiba – tiba Raka datang dengan wajah merah, dia benar benar terlihat begitu tersiksa.

"Ka ... kamu nggak pa pa ??" Raka duduk dan aku mengikutinya. Menatapnya dengan perasaan bersalah.

"Dyuhhh ... ini emang kesalahanku, kamu juga sie Byl nggak bilang kalo itu Juice wortel. Emang kamu suka dengan Juice seperti itu ???” Aku berusaha menahan tawa, ku tahan perutku sebisa mungkin. Namun tetap saja tawaku pecah di depannya, Raka tertegun menatapku …

“Abisnya kamu juga sie, permisi dulu keq, nanya dulu keq … nggak asal embat” kata ku diantara derai tawaku.

“Kamu cantik Byl … tawamu, senyummu seketika membuat wajahmu memerah semu. Kamu tahu … kamu benar benar cantik saat tertawa. Mengapa kamu sembunyikan ???” Aku tersentak, seketika aku terdiam. Menatap wajah di depanku yang sedang menatapku.

“Aku …”

“Karena Bian ??? begitu hebatnya dia hingga bisa menghapus tawamu selama ini. Begitu berartikah dia bagimu Byl ? hingga kamu menjauhiku, menghindariku dan menutup semua jalan bagiku.” Aku terdiam … diam tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun. Aku seperti melihat sosokmu kembali Bee, diwajah itu, disenyum itu … betapa aku ingin berlaku adil terhadapnya. Menatapnya dan menerimanya bukan sebagai dirimu, tapi menerima dia seuntuhnya sebagai Raka.

“Kepergiannya bukan kesalahanmu Byl, itu sudah takdir dia. Kamu tahu takdir yang tidak dapat dirubah adalah hidup dan mati, itu sudah hak paten milik Nya. Kita tidak bisa menghindari dan menolaknya.” Aku menatapnya, tahu apa dia tentang aku ? dia hanya tahu dari cerita orang. Aku berdiri, tersenyum dan ...

"Terima kasih buat ceramahnya ... " kemudian aku berlalu, meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Jangan ajari aku untuk menerima kenyataan, jangan ceramahi aku tentang takdir. Segala cara telah ku coba melupakannya, semua cara telah ku lakukan untuk menghapusnya dan kamu ... hanya orang asing yang berusaha hadir di hidupku, yang belum tahu apapun tentang aku. Mengajariku cara tertawa dan tersenyum, cara melupakan kepedihan, cara yang selama ini telah aku lakukan untuk menyelamatkan hati dan hidupku. Tapi tetap saja aku tak mampu ...


Bersambung ...