Selasa, 29 September 2009

Rahasia kecilku ...




Mengapa .... ketika aku buka blog ini dengan setumpuk ide yang bercokol di otakku, dengan semangat yang menggebu namun ... ketika terbuka tampilan di layar notebook itu membuat aku terpaku, otakku yang penuh ide lenyap entah kemana ... semangat yang mengebu gebu itu hilang tanpa bekas. Yang tertinggal hanyalah ... jemariku yang terdiam diatas keyboard, otak yang kosong tanpa ada satu ide pun yang tertinggal. Selalu ... selalu ... dan selalu hal itu yang terjadi, membuat aku bingung, heran dengan apa yang terjadi. Sudah demikian parahkah ??? sudah akut kah ??? yach ... andai ini penyakit, ehmm ... penyakit pikun kalee ya ??? Uuuuhhh ... jengkel dengan diriku sendiri, melihat tugas yang nggak kelar - kelar padahal libur sudah hampir usai. Besok aku harus mulai masuk kuliah. Seneng sich ... tapi juga nggak !!! seneng bisa ketemu sobat sobit gue, bisa ngocol bareng, update gosip terbaru nnnnn .... nggak ketinggalan bisa join nan ma mereka, mulai dari soal tugas ampee pernak pernik kecil. Ada satu rahasia yang terjalin diantara kami, rahasia yang hanya kami sendiri yang bisa memahami. Rahasia kecil tentang sebuah jalinan antara aku, dia dan mereka.

"Ve, Vera Very Viraaaaaa ..... !!!! muncul dong, jangan ngumpet mulu !" tyuhh teriakan mirip Tarzan mulai mengusik konsentrasiku. Kalau memang bisa dibilang ke begonganku adalah sebuah konsentrasi.
"DUBRAKKKKK .... !!!" aku terlonjak dari tempat dudukku. Mendelik jengkel ketika melihat seraut wajah ayu nongol di sudut bibir pintu kamar.
"Nahh ... ngelamun lagi. Uuuhh .... dunia gonjang ganjing aja loe pasti nggak tahu, ngendon aja di kamar. Mang ngapain non ??? tugas blom kelar kah ?" Aily masuk ke kamarku, melihat seluruh isi kamarku seperti petugas inspeksi, tak ada satupun sudut kamarku yang terlewat dari matanya. Mulutnya tiada henti mengoceh memberi komentar untuk setiap sudut kamarku. Mulai dari tempat tidurku yang acak - acakan, buku berserakan di atas karpet, Sajadah dan mukena yang masih teronggok begitu saja dilantai. Dan ... tak terkecuali aku. Aily melihatku dari ujung rambut hingga ujung kaki, melihat baby doll unggu yang masih melekat di tubuhku dengan rambut yang acak2 an dan melihat wajah kusam penuh amarah melotot ke arahnya. Ada senyum yang tertahan di sudut bibirnya, dengan lagak serius dia berucap.
"Ve ... " dia mendekatiku, menyentuh ujung baby doll ku kemudian mengelus rambutku pelan.
"Udah waktunya loe bangun, melihat mentari bersinar di ufuk timur. Rambut ini dah waktunya ke salon, cuci rambut, blow up, pedi meni atau apalah yang bisa mengubah sosok tomboy loe menjadi sedikit lebih cantik"
"Yeee ... emangnya gue nggak cantiik ??? iiihhh ... kecantikan ndiri tyuhh, sok loe ... !" ujarku sambil menghempaskan tubuhku ke kasur. Ku sembunyikan wajahku dibawah guling, me reka reka jalan hidup yang semakin tak tentu arah. Bukan hanya satu hal yang datang, namun terlalu banyak hal yang datang dan pergi hingga membuat aku kelimpungan sendiri. Apa yang kucari ???. Aily merebut guling dari pelukanku.
"Ly, gue pengen naik gunung. Sendiri .... mencari sesuatu yang gue sendiri nggak tahu."
"Gilllaaa loe ... kul dah aktif non, loe malah mo ngilang. Tugas psikodiagnostik observasi dah kelar blomm ???"
"Gue ... dah sampe pada titik yang tidak mampu gue tanggung. Gue ... gue hanya butuh ruang untuk sendiri." Tak ada yang bisa ku katakan lebih dari itu, Aily mendelik melihatku. Aku tidak tahu dia ... bisa melihat apa tidak ke dalam kedua bola mataku bahwa aku saat ini sedang melayang diantara duniaku, dunia yang hanya aku sendiri yang bisa memasukinya. Setengah sadar aku merasakan dua jemariku digengam erat.
"Ve, loe ada masalah ?? pleaseee .... cerita gih ! gue siap koq jadi pendengar yang baik." Ku lihat langit langit kamarku berubah warna. Menjadi gelap dan terang diantara dua sisinya, dan kurasakan jiwaku melayang, mengambang ... semakin tinggi ... tinggi dan tinggi. Hingga yang kulihat hanyalah Aily yang menguncang guncang tubuhku sambil terisak pilu.

Ku masuki pelataran kampus, siang semakin terik ... bulan ini memang merupakan jarak terdekat matahari dengan bumi, sehingga panas terasa semakin membakar menyisakan peluh peluh yang mengalir dari tengkuk merambat ke bahu dan seluruh tubuh. Gerah ... tak bisa dipungkiri mencengkeram erat bumi berserta seluruh makhluk hidupnya. Dengan tergesa gesa aku melangkah di antara koridor kampus, hari ini ada kelas mata kuliah kode etik psikologi. Ku lihat jadwal ku hari ini dan dyuhh ... jam satu siang ada seminar Pendidikan dan Perkembangan. Alamat nggak ada tengang waktu buat rest nich, pikirku kelu.
"Ve ... !!!" Ku hentikan langkah, ku lihat Seno lari tergopoh gopoh ke arahku. Ku lirik jam tanganku, telat 15 menit ... ampyunnn ... kena strap dech !
"Hai ... pa kabar Sen ?" Bukan menjawab salamku, cowok itu malah menarik tanganku agar mengikutinya. Ku dengar nafasnya masih memburu, dahinya dipenuhi peluh yang bercucuran.
"Gue butuh bantuan elo nich !" Katanya diantara nafasnya yang terengah engah.
"Whattt ??? bantuan apaan ? Sen ... gue ada kelas Bu Rahma nich."
"Bentar Ve, dengerin gue dulu ... anak anak MAPALA mo melakukan pendakian ke Merbabu ..." Pendakian ??? wah pucuk dicinta ulam pun tiba. Ini yang gue suka ... akhirnya Bu Rahma terlupakan dari benakku. Tak ada kelas ataupun seminar, saat ini perhatianku hanya terfokus pada rencana anak - anak MAPALA. OOOooooiiii ... gue bener benar kangen dengan pegunungan. Akhirnya aku cabut dengan Seno ke base camp MAPALA, kuliah batal, seminarpun terlupakan dan seharian ini waktu ku habiskan di base camp anak - anak MAPALA.

"Assalamu'alaikum" sahutku ketika ku angkat Hand phone ku pada nada sambung yang kedua.
"Ve, gila loe ya ... ditungguin dikampus malah nggak nonggol. Kemana aja sie ? jangan bilang kalo loe ketiduran. Awass loe ..." Aku tersenyum mendengar omelan itu, Siska ... sahabatku. Selain Aily masih ada Siska, Willa dan Joel. Kami berlima bersahabat karib, walau banyak perbedaan diantara kami, nyatanya selama ini jalinan yang terjalin ini terasa indah dan menyenangkan.
Aily si gadis salon, kemana aja di dalam tasnya selalu ada bedak, pelembab dan lipstik. Siska gadis imutt yang paling nggak suka bolos, paling hobby ke perpustakaan dan bener - bener si jenius diantara kami. Willa gadis lembut yang nggak suka neko - neko, paling lembut dan rapuh. Dia seperti putri kaca, tersenggol dikit pasti akan jatuh dan berkeping. Dan Joel adalah gadis simple. Dia bernama Juliet ... tapi karena dia lebih terkesan cowoknya maka kami suka memanggilnya Joel. Ramputnya di potong cepak, nggak pernah sekalipun pake gaun or Rok. Seluruh koleksi bajunya hanya terdiri dari Celana jeans, t - shirt, tank top atau celana pendek. Dia sahabat sehobi denganku, walau aku nggak se tomboy dia. Kami sering ikutan wall climbing ataupun hiking bareng anak - anak MAPALA.
"Ve ... !!! koq diam sie ???" Aku tersadar ketika mendengar teriakan Siska di telingaku.
"Wooii ... telinga gue masih normal kalee nggak usah pake teriakan macam maling gue masih dengar nonn ..."
"Tyuhh mulai dech .... kemana aja ? inget loh Ve ... loe nggak mau ketinggalan kan, kita udah di tahap penentu nich ! skripsi dah dekat nonn, jangan macem2 dong !" dyuhh ... aku lagi maless denger ceramah, so ... aku ambil selembar kertas tyuss aku gesek2an di HP.
"Sorry Sis ... signalnya low nie .. gue nggak denger suara loe bizz putus2 nich!" Secepat kilat aku matikan HP ku. "Alhamdullilah ... sorry beb, gue lagi maless berantem ma loe. Lain kali dilanjut dech ..." bisikku sambil tersenyum.

Ehmm ... start awal, aku musti nyelesaiin tugas makalah itu. Malemm ini musti kelar dan besok pagi aku bisa cabut pergi dengan anak2 MAPALA. Ku siapkan semua bahan di meja belajarku, pintu kamar sudah aku pasang label besar "DON'T DISTURB ME" dan pintu aku kunci dari dalam. Tak ketinggalan segala macam cemilan aku siapkan di samping meja beserta semua jenis minuman dari panas, dingin ampee yang palinggg duingiiiinnn dan palingg hot. He ... he.. he ... reseh ya ! and now let's to begin.
Notebook mulai aku nyalakan, ku lihat signal Wifi ku berjalan normal. Ehmm alamat gue bisa browsing di internet cari bahan makalah. Ehmmm .. YM ?? wadoohhh ... jangan dulu Ve, fokus ... fokus ... loe musti nyelesaiin makalah bukannya Chatting non. Ku jedotkan kepala ke buku, biasa godaan terberat kalo buka internet pasti ke Facebook, Chatting ataupun buka - buka email yang ujung2nya tetap aja ke sana. Duch Tuhan ... bantu aku "Bismillahirohmannirrohim ..." tak lama kemudia jemariku mulai menari diatas keyboard, untunglah malam ini otakku berjalan normal hingga dengan mudahnya ide - ide itu masuk dan muncul di otakku. Jemariku pun semakin tak terkontrol menari dan berlenggak lenggok di atas keyboard. Walaupun sesekali aku meraih stock cemilan yang udah aku siapan di samping meja belajarku. Waktu terus berlalu, detik, menit dan jam telah terlampaui. Tak terasa malam semakin larut dan akhirnya ..... Finish ! "Alhamdulillah ..." bisikku dengan mata yang semakin berat. Ku simpan semua fileku, ku raih jam becker di atas meja, ku pasang alarm. Besok pagi sebelum berangkat aku bisa mencetaknya.

Ku dengar jam becker berbunyi, suaranya terlalu nyaring hingga membuat telingaku sakit. Ku raih bantal untuk menutupi telingaku, achhh mata terasa begitu berat seakan akan ada beban berkilo kilo membebaninya. Tak lama kemudian ku dengar HP ku berbunyi ....
"Arrrgghhh apa sich... pagi pagi dah gangguin orang !" Dengan malas, ku raih HP itu dan ...
Bangun !!!! gue tahu loe masih molorrr
ditungguin seno tyuhh
Pengen di keroyok anak2 MAPALA ???

"MAPALA ??? aduchhh .... !!!" Reflek aku bangkit, meraih piyama ku dan bergegas keluar tapi ...
pintu kamar terkunci dan ... kuncinya dimana nich !! bingung ... nggak tahu musti gimana. Kunci kamar hilang entah ngumpet dimana. Dan .... "ampyunnnn mampus gue ! 10 menit lagi ... wahh gue ada ide" dengan tergesa aku menuju jendela, ku buka daun jendela dan melompat keluar ...
"GUBBBRRRUAAAKKKK ... ! aduch, sialan sapa sich yang naruh gerobak sampah sembarangan." rutukku kesal yang disambut seraut wajah keriput yang tersenyum penuh penyesalan. Pak Mardi, tukang sampah yang sering mengambil sampah - sampah di sekitar area pemukiman ini.
"Maaf mbak Ve ... maaf ..!" aku tertawa kecil
"Tenang pak Mardi, Ve yang salah. Jendela kan fungsinya bukan untuk keluar masuk." Jawabku asal, sambil berlari masuk rumah.

Mandi ... ahhh tak bisa ku nikmati sejuknya air di pagi hari. Aku harus cepat2 mengejar waktu. Dengan tergesa aku menuju tempat kunci cadangan, walaupun dengan konsekuensi kena semprottt ma bu kost, apa mau dikata .... dengan mengendap endap aku menuju ke ruangan itu. Sepi ... tak ada bu kost, baunya saja nggak tercium ... anak - anak yang lain sudah pada keluar so ... kost sueeepiiii banget. Ku ambil kunci cadangan, tertawa senang dan sambil melonjak lonjak kegirangan aku menuju ke kamar. Yachhh ... nasib baik Ve nich !!!
Ku tulis disecarik kertas pesan untuk Aily, Siska dan Willa ....

Hai my dearest friends ...
Tolongin gue ya Beb ...
cetakin tugas Psikodiagnostik Observasi gue
Nama file nya Sikopad.doc
sekalian Jilid n kumpulin yaaa ...
Please ... please ... please ...
Love you all

Ku baca ulang pesanku, dalam benakku telah terangkum wajah2 cantik sohib gue yang cemberut bin jengkel. Bisa dipastikan mereka akan marah - marah nggak karuan, bukan karena permintaan tolongku sie, tapi mereka marah karena aku menghilang begitu saja dan membebani
mereka dengan tugas tugas itu. "Maafin gue beb ..." bisikku lirih.

Merbabu .... entah apa yang terlintas dibenakku, melakukan perjalanan super panjang dan melelahkan. Kami dari Yogya naik bus menuju ke Magelang kemudian dilanjutkan dengan bus kecil ke arah Kopeng. Kami sudah sepakat akan melakukan pendakian lewat Tekelan karena disana terdapat Pos yang dapat memberikan informasi maupun berbagai bantuan yang diperlukan. Pos Tekelan dapat ditempuh melalui bumi perkemahan Umbul Songo.
"Oke ... sesuai kesepakatan, kita akan beristirahat dulu di pos Tekelan sebelum melakukan pendakian. Berdasarkan rute perjalanan kita akan menuju bumi perkemah Umbul Songo kemudian menuju ke Pos Tekelan."
"Bagaimana kalau kita lewat jalan pintas Bro ... setahu gue, terlalu lama kalau kita harus melewati Bumi Perkemahan Umbul Songo." Acan terdengar memberi usul.
"Gini Can, kalo kita lewat jalur pintas ... ada banyak kendala dalam kelompok kita. Gue kasihan ma temen2 kita yang cewek."
"Alahhh siapa suruh mereka ikut ... kalo nggak mampu nggak usah ikut dong!"
"Jangan githu dong ! lihat sikon saat ini ... walo belum musim penghujan tapi angin terlalu kencang. Sen ... mendingan lewat jalur aman aja dech !" Teriak Rani menimpali ucapan Acan.
Seno terlihat bingung, karena teman - teman yang lain pada berkomentar. Rani dan Acan saling adu mulut, suasana bertambah tegang, padahal hari sudah bertambah siang. Acan tetap ngotot ingin lewat jalur pintas sedangkan Rani tetap bersikukuh lewat jalur aman.
Seno menatap kearahku meminta pertimbangan, aku tersenyum menatapnya dan dengan bahuku ku senggol Joel disampingku.
"Paan sie ..." sungut Joel sambil menatapku.
"Bantuin Seno tyuhh ... !!!" pintaku
"Ogah ach ... nggak ngefek mah kalo gue yang maju atuhh non" Aku mendelik menatapnya dengan pelan ku tinju lengan kirinya sambil melangkah ke depan. Saat ini kami sudah berada di daerah Kopeng, dinginnya gunung sudah mulai menyebar diseluruh persendian tubuhku.
Aku berdehem beberapa kali meminta perhatian mereka.
"Maaf sebelumnya ... dari awal kita sudah sepakat kita akan lewat jalur aman. Yang dimana kita akan melewati 5 atau 6 pos untuk mencapai puncak. Jadi gue minta kita tetap pada komitmen semula. Please ... Can, hargai kami para wanita ini dan simpan saja energimu hingga sampai puncak Merbabu." Ku tatap wajah wajah di depanku, beberapa diantara mereka ada yang belum aku kenal. Saat ini kami berjumlah 7 orang 3 cewek dan 4 cowok dan kami adalah kelompok ke 2 dari 3 kelompok yang terbagi. Dengan kesepakatan kami semua akan bertemu ketika sampai di puncak. Ku tatap Acan, berharap dia bisa menerima kesepakatan itu.

Pos Tekelan berada ditengah perkampungan penduduk, dimulai dengan melewati kebun penduduk dan hutan pinus. Sepanjang perjalanan kami dapat menyaksikan pemandangan yang sangat indah ke arah gunung Telomoyo dan Rawa Pening. Pemandangan yang sangat sulit untuk di jabarkan dengan kata - kata. Ada banyak keanehan disini berdasarkan buku petunjuk penduduk desa di lereng gunung Merbabu ini pada tahun baru Jawa 1 suro selalu melakukan upacara tradisional di kawah Gn. Merbabu. Pada bulan Sapar penduduk Selo (lereng Selatan Merbabu) mengadakan upacara tradisional. Anak-anak wanita di desa Tekelan dibiarkan berambut gimbal untuk melindungi diri dan agar memperoleh keselamatan. Mereka seperti penduduk yang tak tersentuh modernisasi. Kami beristirahat di Pos Tekelan sambil menunggu malam tiba untuk melanjutkan perjalanan.
"Capek Ve ?" Tanya Seno sambil menatapku, aku tersenyum menghentikan aktifitas menekuk tubuh ke kiri kanan.
"Capek ?? wadoohh belom lagi dimulai masa' capek sie ???" Seno tertawa lepas, aku lihat wajah itu begitu tirus. Dia anak Teknologi Informatika semester akhir. Tawa itu ... mengingatkanku akan seseorang, seseorang yang tak pernah ingin ku ingat lagi. Seseorang yang ingin aku lupakan.
"Loe suka banget ya ma petualangan, beda dengan cewek cewek yang ku kenal selama ini."
"Gue suka karena ... dengan melakukannya gue ngerasa senang, gue sangat suka dengan alam."
"Bukan githu Ve, loe tyuhh ... apa adanya. Nggak seperti mereka yang suka muna !"
"Bisa aja loe Sen ... !" Seno tertawa, dia menatapku dengan tatapan yang aneh. Sedetik kami hanya bisa saling pandang dan tersentak ketika mendengar Indra memanggil ...
"Ooooiii ..... sennoooo .... !!!" Sebelum berlari menghampiri Indra, Seno meraih tanganku dan mengenggamnya sejenak. Aku menatapnya berlalu ... ku tepis setiap rasa yang terasa mulai berlebihan. Ku buang segala angan dan impian yang mulai menjajah mimpiku. Aku tidak memiliki kehidupan tuk bisa kuberikan kepada orang lain. Lebih baik aku sendiri menjalani sisa hidup ini.
Ku hampiri Joel, duduk disampingnya sambil menatap keindahan puncak Merbabu. Pos Tekelan ini terlihat begitu menyatu dengan alam, hanya angin semilir pegunungan yang semakin membalut tubuh kami dengan dingin yang membekukan.
"Haus non ??" tanya Joel perlahan.
"Nggak cuma haus nich, kekeringan ! persediaan air gue tinggal seteguk. Payah dech !" Joel tertawa, menyodorkan ransel nya ke arahku.
"Nich ... ambil !" Ooouuww ... ini tas apa toko nich ! ku lihat di dalam ransel itu penuh dengan makanan. Mulai dari berat ampai yang paling ringan, "wah ... wah ... mo jualan nie ?"
"Halahhhh ... lagak loe, macam gue nggak tahu aja sie ! jgn sungkan2 ambil aja dech !" Ku luruskan kaki ku, penat juga yach ... udah lama banget nggak pernah jalan jauh. Di sudut jalan setapak itu ku lihat Rani sedang cepret sana cepret sini, dia asyik mengabadikan pemandangan indah di lereng gunung Merbabu.

Senja mulai beranjak pergi, malam mulai menyelimuti dan ini waktunya menjalankan ekspedisi. Seno cs sudah mulai bersiap siap. Aku dan Joel serta Rani pun sudah bersiap menunggu instruksi selanjutnya.
"Key ... sudah waktunya kita mulai pendakian. Mari kita berdo'a dulu sebelum melanjutkan perjalanan, dan gue minta kita bertujuh selalu bersama jangan pernah berpencar terlalu jauh. Gue nggak mau ada salah satu diantara kita yang terpisah dari rombongan dan gue minta kerjasamanya. Semoga sebelum fajar kita sudah sampai di puncak. Berdo'a mulai ...!" Terdengar alunan do'a dari bibir kami, tanpa sadar jemari kami saling bertautan membentuk lingkaran. "Ya Allah, lindungilah kami dan tuntunlah kami selama pendakian ini. Amien"
"Satu lagi, tolong jaga bicara kalian. Di sini ada keyakinan selama melakukan pendakian kita dilarang mengeluh, hindari kata kata kotor, perbuatan mesum, melamun, buang air besar atau kencing di tempat2 yang dikeramatkan. Jadi percaya atau tidak, sebaiknya sebagai pendatang kita hormati kepercayaan itu." Seno memberi ceramah singkat kemudian membuka peta, meneliti setiap jalur akan kami lewati dan beberapa saat kemudian ...
"Bismillahirrohmanirrohim ... ayo kita berangkat. Jangan lupa perlengkapan kalian !" Keluar dari Pos Tekelan, kami disambut angin yang bertiup kencang, dingin semakin membalut tulang. Namun di atas angkasa sana pijar bintang menghiasi malam dengan indahnya. Dan bulan itu bersinar indah ... untunglah malam ini bulan purnama. Cahaya nya akan membantu kami dalam perjalan menuju pucak Merbabu. Kami melewati daerah Pereng Putih, jalannya sangat terjal, sehingga kami harus sangat berhati - hati. Kemudian kami pun melewati sungai yang kering, dari tempat ini kami melihat pemandangan yang sangat indah. Dibawah sana terlihat kerlap kerlip lampu kota Salatiga. Seperti kunang - kunang ... Dari Pos I Dalan Tengah kami melanjutkan pendakian ke arah Pos II, jalur ini banyak melewati pohon cemara jarum dan pohon dengan daun-daun kecil seperti putri malu. Pos II juga merupakan belokan jalan dengan lapangan sempit. Melewati Pos II menuju Pos III jalur mulai terbuka dan jalan mulai menanjak curam. Didepan sana telah terihat bayangan gunung Pertapan, hempasan angin yang kencang sangat terasa, apalagi berada di tempat terbuka. Perlahan tapi pasti kami mulai merambah jalan, menyibak semak belukar. Berjalan naik turun, saling membantu ketika kami harus menaiki bukit bukit terjal. Di gunung Pertapaan terdapat sebuah batu yang dijadikan tempat berlindung, batu itu bernama Watu Gubug, sebuah batu berlobang yang dapat dimasuki 5 orang. Konon merupakan pintu gerbang menuju kerajaan makhluk ghaib. Dan Watu Gubug termasuk tempat yang sangat dikeramatkan. Disini kita dilarang melakukan larangan yang menjadi kepercayaan penduduk desa karena bila dilanggar maka akan terjadi petaka. Aku lihat Joel sedang menolong Rani yang sudah terlihat kepayahan. Sesekali bibir Rani terlihat bergetar hebat.
"Kita istirahat dulu ...!" Aku berbisik ke arah Seno. Seno tersenyum, meraih tanganku dan ...
"Napa Ve capek ??" Aku berdesis, merapatkan jaketku ke tubuh. Seno menyentuh pipiku, jemarinya terasa kasar karena terbalut sarung tangan. Aku sedikit terpaku ... aneh, nggak biasanya nich. Ada getaran yang tak kutahu darimana datangnya, tiba - tiba hadir membuat aku tersentak kaget.
"Sen .. lihat Rani tyuhh, kasian !" Seno mengalihkan pandangannya.
"Can ... tolong bilang ke anak2 kita rest dulu !" Kami berlindung di Watu gubug, berlindung dari sapuan angin yang terasa semakin kencang.
"Apakah akan ada badai " bisikku pelan.
"Semoga tidak Ve, perjalanan masih panjang !!" Seno menatap dikejauhan, yang terlihat hanyalah kegelapan. Hanya bayangan pohon2 pinus dan semak belukar yang tertimpa cahaya bulan. Dan langit itu terlihat begitu indah, seakan bulan dan bintang itu bersendawa dan bercanda. Bintang ... indah, namun tak akan indah bila jatuh dalam genggaman.

Mendekati pos IV kami mendaki Gn. Watu Tulis dan `jalur mulai agak curam dan banyak pasir maupun kerikil kecil sehingga licin, angin kencang membawa debu dan pasir sehingga harus siap menutup mata bila ada angin kencang. Pos IV yang berada di puncak Gn. Watu Tulis dengan ketinggian mencapai 2.896 mdpl ini, disebut juga Pos Pemancar karena di puncaknya terdapat sebuah Pemancar Radio. Rani terlihat semakin payah, tubuhnya semakin limbung tak mampu menahan berat tubuhnya.
"Joel ... gimana Rani ?"
"Taux Ve, badannya demam ..." Aku mendekat, ku sentuh kening Rani.
"Ran ... loe bisa, dan loe harus bisa Ran. Kita udah hampir sampe di pos IV."
"Esssstttt ... erghh ... erghh ... gue nggak tahu. Tubuhku semakin panas rasanya, namun kedua kaki dan tanganku serasa membeku !" Ucap Rani setengah mengigil. Rani mengusap kedua tangannya, seakan ingin mendapatkan hawa hangat dari sarung tangan yang dipakainya.
"Ran loe haus ??" Acan mendekati kami, menatap Rani dengan tatapan yang tak kumengerti. Tak ku lihat lagi pancaran kebencian di sana. Aku tidak tahu ada apa diantara mereka berdua. Rani menggeleng pelan ...
"Joel, biar gue aja yang menjaga Rani. Kasihan, loe pasti capek ...!" Joel tersenyum mengiyakan tawaran dari Acan. Perjalanan dilanjutkan dengan begitu banyaknya semak semak yang menghalang di jalan serta kondisi jalan yang terjal, membuat kami harus berhati - hati. Dan Pos IV ternyata merupakan lahan yang sangat luas. Di pos ini kami beristirahat, sedikit mengendurkan otot yang terasa tegang karena menaiki jalur yang curam dan terjal. Acan terlihat kewalahan menopang tubuh Rani yang lemah tidak bertenaga. Acan membaringkan tubuh Rani ... serentak kami, aku, Joel dan Seno berlari mencoba membantu Acan.
"Kenapa ? Rani kenapa Can ?"
"Gue nggak tahu ... tadi dia sempat muntah - muntah. Wajahnya sangat pucat ... !" Acan terlihat begitu gugup, ada kecemasan yang tertahan dari ucapannya. Dengan bias cahaya bulan, wajah Rani terlihat benar - benar pucat. Tubuhnya mengigil hebat padahal ketika kusentuh tubuhnya terasa panas. Aku tak tahu apa yang terjadi pada Rani, hanya dengan insting, ku ambil Minyak Kayu putih dari dalam ranselku. Aku hanya berharap dengan ini aku bisa membuatnya sedikit lebih nyaman. Sarung tangan kulepaskan, ku raih jemari Rani. Aku oleskan di kedua telapak tangannya. Dan Seno, Acan, Agus dan Indra membentuk lingkaran disekeliling kami menjadi benteng penahan hembusan angin yang semakin kencang. Joel mengusap dan meremas jemari kaki Rani. Beberapa saat kemudian aku lihat Rani membuka matanya, ku ambil sebutir kapsul pereda demam dari ranselku. Aku meminta Rani untuk meminumnya dgn seteguk air. Kami akhirnya beristirahat di Pos IV, sambil menunggu kondisi Rani sedikit membaik.


Akhirnya perjalanan ke Pos V kami mulai, jalur mulai menurun dikelilingi bukit dan tebing yang indah. Dengan perlahan kami mulai menyibak kegelapan malam. Seno berjalan paling depan diikuti Indra yang sesekali dengan senternya meneliti arah dan jalur menuju pos V, kudengar mereka berbisik - bisik membahas suatu hal yang tidak aku pahami. Dibawah sana terlihat kawah Condrodimuko. Aku dan Joel membimbing Rani, Acan dan Agus berjalan paling belakang dan sesekali aku mendengar mereka tertawa lirih. Ku dengar suara gemericik air, entahlah ... walau dingin serasa menusuk tulang namun aku begitu ingin merendam dua kakiku ke dalam air, merasakan otot otot di seluruh tapak kakiku merengang merasakan kebebasan. Sayangnya hal itu tak mungkin ku lakukan. Tiba - tiba kepalaku terasa pusing, rasa pusing yang benar - benar terasa mencengkeram. Duch ... seharian ini aku lupa minum obat, hal ini sudah sangat sering aku alami. Mungkin aku harus pasrah menerima semua kenyataan dan takdir hidupku.
"Ve ... kenapa ? pusing ?" Joel mendekatiku dan menyentuh pundakku.
"Essshhh ... gue nggak tahu ..." Aku hanya mampu meremas rambutku, tidak kuasa dalam deraan rasa sakit yang menerjang kepalaku. Beberapa detik kemudian aku merasa limbung dan ....
"Joel ... Joel ... Ve Joel " Rani berteriak histeris ketika melihat aku ambruk tak sadarkan diri. Joel dengan sigap menangkap tubuhku sebelum terjatuh ke tanah.

Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan, hanya saja ketika aku tersadar aku melihat wajah - wajah cemas mengelilingiku. "Gue ... kenapa ? kalian ... !" Joel menahan tubuhku saat aku berusaha bangkit untuk duduk.
"Ve ... tenang Ve ... !" Sadar ... mereka telah melihatku dalam kondisi yang paling tidak aku inginkan, rahasia yang tak ada seorangpun yang tahu kecuali kedua orang tuaku. Ku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, aku tahu gelapnya malam akan menyamarkan sebagian rona wajahku. Aku tak ingin mereka melihat wajah pucat pias dan bibir gemetar di depan mereka. Dengan tekad tak ingin dikasihani mereka aku mencoba berdiri, tertawa se riang dan sesehat mungkin di hadapan mereka.
"Joel, gue nggak pa pa koq !" Ku rengangkan tubuhku, ku tegakkan tubuhku dihadapan mereka dan ... tatapan mata itu menatapku dengan tidak percaya.
"Ve, kita istirahat dulu aja. Toh ... puncak tinggal selangkah lagi !" Seno menatapku dengan tajam seakan akan ingin menyakinkan dirinya sendiri bahwa aku baik2 saja.
"Nggak ... gue nggak pa pa koq. Key ... lihat aja nich !" Seno mendekatiku, ketika kulihat jemari itu bergerak menyentuh keningku dengan lembut aku berusaha menepisnya. Aku tak ingin dia tahu kondisiku yang sebenarnya.

Akhirnya perjalanan dilanjutkan. Bulan masih terang menghiasi malam, cahayanya membentuk bulatan di angkasa yang disekelilingnya di penuhi binar bintang. Jalan mulai menanjak, sangat terjal dan terlihat jurang disisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan, mungkin karena kondisi jalannya yang sangat curam, lengah sedikit nyawa taruhannya. Aku berjalan beriringan dengan Joel dan Seno. Rani berjalan dengan dibimbing Acan sedangkan Agus dan Indra berjalan di depan menepis setiap semak belukar. Angin berdesir, membawa hawa dingin yang semakin membekukan. Ku lihat dibawah sana yang terlihat hanyalah kabut tipis yang menyelimuti alam. Jalan terasa semakin menyempit dan terjal. Tiba - tiba kulihat Joel memberi kode untuk berhenti.
"Ve, temenin gue dong !" Joel berbisik ke arahku sambil melangkah menjauhi rombongan. "Kemana Joel ?? hei ... jalannya pelan - pelan dong !"
"Gue nggak tahan nie, awass jgn ada yang ngintip !" Joel berlari kecil ke arah semak, aku mengikutinya dari belakang namun tiba - tiba ... aku melihat Joel terpeleset dan ....
"Veeeee .... !!!!" aku hanya mendengar teriakannya yang menyebut namaku. Dengan histeris aku berteriak panik ...
"Joel ... Joelly .... !!! Tolongggg !!!" Teriakanku memecah keheningan malam. Ku lihat dibawah sana yang ada hanya kegelapan. Jurang ini terlalu dalam dan curam. Dengan cahaya senter aku hanya bisa melihat kegelapan di bawah sana.
"Joelllll ..... !!!"
"Vee ... tolong Ve ... !!!" Aku panik, semakin panik ketika aku mendengar suara Joel tapi aku tidak melihat sosoknya.
"Ke kiri Ve ... tolonggg gue nggak kuat lagi !" Ku arahkan senter ke dalam jurang ke arah kiri yang dimaksud Joel. Ku lihat dalam kedalam 1 meter aku melihat dia berpegangan pada akar pohon. Dengan bergegas aku mengulurkan tanganku
"Joell ...!!! raih tanganku ! gue tahu loe bisa meraihnya !!" Dengan tengkurap diatas tanah aku mengulurkan tanganku berharap dia bisa meraihnya. Berkali - kali Joel berusaha meraih jemariku dan ... akhirnya tangan kami bertemu dan bertautan. Aku berusaha menariknya ... dengan sekuat tenaga aku berusaha menariknya dari dalam jurang. Hanya sayang ... berat badanku tak kuat menahannya dan yang terjadi adalah ... ku rasakan tubuhku meluncur dan melayang ke udara. Aku tidak sempat berteriak, yang kudengar adalah teriakan Joel yang semakin histeris memanggil namaku. Dan setelah itu aku tidak tahu apapun ...

Hari pertama ...
Inilah hidup ... hidup yang tak dapat ditebak jalan ceritanya, hidup yang tak kan lama lagi kuhinggapi. Hidup yang selama setahun terakhir ini kuperjuangkan, takut ... terkadang ada ketakutan yang menganggu hati dan fikiranku. Takut ... ketika tiba tiba jantungku berhenti berdetak, nafasku berhenti berhembus takut ... ketika saat itu datang aku belum siap, takut ... aku belum bisa memberi apapun kepada kedua orang tua. Aku merasakan dingin disekujur tubuhku, merasakan sakit dan kaku diseluruh persendianku. Aku berusaha bangkit, namun tubuhku tak mampu ku gerakan. Ku lihat sekelilingku dan yang kulihat hanyalah semak belukar, pohon - pohon tinggi yang menjulang mengelilingi seperti pagar. Matahari terlihat mengintip di balik awan, cahaya nya demikian redup hingga tak bisa kurasakan hangat sinar nya. Sepi ... sunyi ... tak ada siapapun, teman - temanku, Joelly, Rani, Seno, Acan, Indra dan Agus. 'Kemana mereka ...' bisikku. Kemudian sekilas bayangan muncul di benakku, terakhir kali aku melihat Joelly dan ... ya Tuhan ... dimana aku sekarang ?? di dasar jurang ??? bukan ... aku hanya tersangkut diantara batang pohon yang tumbuh di dinding - dinding jurang. Dibawah sana yang terlihat hanyalah rimbunnya pepohonan, tanpa kutahu tanah tempat berpijak. Tersentak dengan kenyataan yang kuhadapi, aku berusaha mencari Ransel yang selama perjalanan melekat di punggungku. Aku masih hidup ... aku masih hidup ... dan ... Terpaku dengan kenyataan ini, seperti ada godam baja yang menghantam jantungku. Aku hidup tapi setengah hidup ... dan setengah itupun bukan 50% lagi mungkin tinggal 20% karena yang 30% tergantung pada keajaiban Mu ... Air mata tak mampu kubendung, ada kepedihan namun ... entah mengapa aku merasa damai di antara pelukan alam. Mungkin ini adalah tempat terbaik untuk menutup mata, mungkin ini tempat yang akan menemaniku melewati sisa hidupku.
Aku berusaha bangkit, namun kedua kakiku sangat sulit untuk aku gerakan. Aku berharap ini hanyalah sementara, aku harus bisa berdiri ... aku tak ingin mati karena kelaparan, tak ingin mati karena kedinginan atau hal apapun ... aku harus bisa menaklukan alam walaupun aku tak sanggup membunuh penyakit yang mengambil separuh dari kehidupan yang seharusnya bisa kujalani. Dengan tertatih aku berusaha bangkit, mencari sesuatu yang bisa mengganjal perutku. Tiba - tiba kulihat ranselku tersangkut diantara semak belukar, dengan semangat 45 aku berusaha meraihnya. Kakiku terasa sakit, aku tidak berani terlalu banyak bergerak. Dengan ranting kering yang tergeletak tak jauh dari tempatku aku berusaha meraih ransel itu. Seperti ini rasanya perjuangan, perjuangan tuk mempertahankan hidup. Seperti kedua orang tuaku yang berusaha dengan sekuat tenaga memperpanjang usiaku, usia yang sebenarnya sudah ditentukan sang Maha Kuasa. Aku tahu mereka menginginkan yang terbaik untukku, hingga semua cara mereka lalukan untuk kesembuhanku. Akhirnya ransel itu dapat kuraih, ku cari handphone ku, berharap aku bisa berkomunikasi dengan Joelly. Namun ... aku hanya menemukan sebotol minuman, Peta penunjuk jalan yang diberikan Seno sebelum berangkat pendakian, Seutas tali karmantel, kompas dan sebuah pisau kecil didalamnya.

Ada kelegaan yang menghampiri, setidaknya aku bisa berusaha naik ke atas atau mencari jalan keluar dari sini. Atau ... aku tetap berdiam diri menunggu mereka menemukanku disini dalam keadaan tak bernyawa ? Ku buka peta itu ... aku berusaha mengingat - ingat semua jalur dan jalaa setapak yang pernah ku lalui. Namun hal pertama yang harus ku lakukan adalah keluar dari jurang ini. Namun melihat medan yang harus ku lalui ... aku harus berfikir 10 kali lipat, apalagi dengan kondisi kedua kaki yang tak mampu ku gerakan. Dengan perlahan aku berusaha menggerakan kedua kakiku, aku berharap tidak parah kondisinya.

Hari kedua ....
Ku tatap ketinggian tebing yang mengelilingku, selama ini aku terbiasa memanjat tebing walaupun aku belum mencapai tingkat Lead Climbing paling tidak aku sudah memiliki bekal pengetahuan tentang cara melakukan pendakian. Dan aku tidak memiliki pilihan, pilihanku hanya satu hidup dengan berusaha naik ke atas atau mati didalam jurang ini tanpa satu orang pun yang tahu. Aku tidak ingin mati konyol, setidaknya jika aku harus pergi aku ingin dikelilingi orang - orang yang aku sayangi. Tak ada jalan lain, aku harus mendaki dinding tebing ini dengan tali dan .... aku teringat sesuatu, aku tidak mungkin naik keatas dan membebankan tubuhku pada tali tanpa ada yang bisa menahan berat tubuhku. Anchor ... dengan tergesa, aku mengeledah ranselku kembali, berharap benda itu ada terselip entah di bagian mana dalam ranselku. Dan ... hampir saja aku berteriak tak kuasa menahan emosi, ketika aku menemukan sebuah anchor didalam ranselku. Walaupun tak ada belayer, paling tidak dengan adanya anchor aku nyakin mampu naik ke atas. Kemarin ... walau dengan merangkak, aku sudah bisa melihat dan menebak seperti apa medan yang akan aku hadapi. Dan hari ini aku ingin segera terbebas dari kegelapan jurang ini. Kedua kaki sudah lumayan membaik, matahari masih bersinar terang walau aku tidak tahu jam berapa saat ini. Tak lagi kuhiraukan rasa sakit dipunggung dan sekujur tubuhku. Aku tak lagi bisa merasakan rasa lapar ataupun dahaga. Aku tak perduli walau tubuh lemah tak bertenaga. Ku buat tali simpul figure of eight atau overhand knot di anchor, ku ikat erat agar bisa menahan beban tubuhku. Dengan tertatih aku berusaha bangkit dan melemparkan Ancor itu setinggi mungkin agar bisa menancap pada batang pohon yang kulihat menyembul di dinding jurang diatas sana. Ransel ku bawa dipunggung dan ujung tali yang lain aku ikatkan ke tubuhku dan melingkar dipunggungku. Aku mencoba menguji kekuatan tali itu dengan berat tubuhku. Dan aku mulai mendaki, perlahan tapi pasti aku berusaha mencari pegangan pada akar akar pohon dan mencari tempat pijakan kaki pada setiap dinding jurang agar berat tubuhku tidak terlalu memberati Anchor yang menahan berat tubuhku. Kurasakan tubuhku begitu ringan, ini bukan latihan yang sering aku lakukan dengan teman - temanku. Tapi ini adalah perjuangan untuk hidup dan matiku. Tak terasa mentari semakin redup, senja mulai datang dan ini adalah malam ketiga aku berada di dalam jurang. Tubuhku masih terikat dengan tali, tanganku terasa panas karena bergesekan dengan tali untuk menahan berat tubuhku. Kedua kakiku terasa semakin linu, dan dingin semakin merambat. Aku harus mampu mencapai batang pohon dimana anchor itu menancap. Tak kurasakan pusing dikepalaku, tak ku rasakan sakit di punggung dan kakiku aku hanya berharap bisa mencapai batang itu dan sedikit beristirahat disana. Ada sedikit lekukan tanah di batang pohon itu, dan malam ini aku akan tidur diatasnya tanpa makanan atau minuman. Aku hanya berharap esok pagi ada sisa embun yang bisa menghilangkan dahagaku kini.

Hari Ketiga ...
Aku tak bisa melakukan apapun, tubuhku terasa menggigil. Kurasakan panas dan dingin menyergapku tanpa ampun. Tuhan ... andai kau ingin mengambilku mungkin ini adalah saatnya. Aku tak mampu lagi melakukannya, pasrah ... kupasrahkan segala nya. Tak ada harapan lagi, kepalaku semakin tak mampu kutahan. Rasa sakit ini melebihi rasa sakit yang pernah ku alami. Tubuhku bergetar hebat. Jeans ku sudah tidak seperti jeans lagi, robek disana sini. Jaketpun tak lagi bisa melindungiku dari udara pegunungan. Dan aku hanya mampu tergeletak tanpa daya.

Hari Ke empat ...
Sayup - sayup aku mendengar teriakan seseorang memanggil namaku. Aku tak bisa bergerak, aku sudah tidak memiliki tenaga lagi. Dan akupun tak tahu ini siang atau malam. Antara sadar dan tidak suara itupun terasa semakin dekat dengan tempatku. Aku ingin berteriak meminta pertolongan namun bibirku tak mampu bersuara. Yang kurasakan hanyalah rasa panas yang mengalir di pipiku. Ya Allah ... aku menangis, menangisi ketidak berdayaanku, ketidak mampuanku keluar dari jurang ini. "Veee ..... Vera ... !!! jawab gue Ve .... !!!"
"Joelll ..... Joel .... !!!" Tak ada yang bisa mendengar teriakanku. Suaraku hanya tersumbat di tenggorokan, tak mampu keluar. Aku hanya berharap semoga mereka menemukanku. Ya Allah jika aku boleh meminta, aku hanya ingin Kau beri aku kesempatan untuk membalas semua cinta dan kasih sayang mereka padaku. Aku hanya berharap masih ada hari esok untukku ...

Selasa, 01 September 2009

Hanya satu kata

"KANGEN" itu satu kata
Yang bagi mereka hanya sekedar pemanis rasa
Tanpa makna ...
Tanpa asa dan hanya kata

"CINTA" satu kata
Namun terkadang hanyalah penghias mimpi
Tak berwujud ...
Ber asa namun terkadang penuh luka

"SAYANG" satu kata
Tapi terkadang itu hanya sekedar ucapan
Tanpa hati ...
Dan hanya sebatas kata

Hanya satu kata yang terwujud hanya dalam kata
Pergi kemanapun, bila hatimu inginkan disini
Sama saja Kau tak pernah pergi kemanapun
Tetap saja Roh hati dan jiwamu terdiam disini bersamaku

Bawa setiap khayalan semu
Bergantilah dengan satu realita baru
Hiasilah seperti apapun yang kau mampu
Kan terterima segala nya dgn keikhlasan jiwaku