Selasa, 17 Februari 2009

Dia ...



Dia ...


Beast ...
Perasaan ini tak bisa kuhapus ...
Karena ...
Dia tidak seperti tinta
Yang bisa hilang diterpa air
Dia tidak seperti api
Yang bisa padam dalam sekejap mata
Dan dia tidak seperti warna - warna
Yang setiap saat bisa hilang dan berganti
Perasaan itu tetap ada ...
Memenuhi relung hati dan jiwa



Yogya, sepertinya aku harus rela meninggalkannya. Meninggalkan sejenak rutinitas yang menjemukan, rutinitas yang tanpa ku sadari telah menjadi bagian dari hari - hariku, yang telah menjadi suatu kewajiban yang harus aku lakukan. Aku harus pulang, aku kangen dengan Abbi dan Ummiku, kangen dengan masakan rumah, kangen dengan kasih sayang mereka. Dan rasanya sudah waktunya aku berhenti berlari, berhenti merasa ketakutan, dan aku harus berani menghadapinya. Menghadapi kenyataan, menghadapi semua hal yang telah diatur oleh mereka. Aku seperti akan maju perang, menuju medan laga, entahlah kemenangan akan berpihak pada siapa. Aku ataukah mereka ???. Aku mendesah panjang, kutatap langit diatas sana, kelabu tanpa warna, hanya gumpalan awan hitam yang berarak menuju arah selatan. Seperti biasa, mendung itu menggantung seperti air mata yang telah mengenangi pelupuk mata, dan hanya tinggal satu kedipan saja, air mata itu akan tumpah berderai, membasahi bumi dan kota pelajar yang telah 2 tahun menina bobokan aku, mendekapku kala malam menjelang, memberi kehangatan juga rasa dingin yang membekukan. Perasaan ini tak mampu kutahan, entahlah .... disetiap waktu aku hanya merasa sendirian, sedangkan disekelilingku begitu banyak tawa dan canda, begitu banyak kasih dan cinta, namun mengapa hal itu tak mampu menyentuhku, tak mampu membawaku pergi dari duniaku, dunia yang sebenarnya sangat ingin aku tinggalkan. Duniaku .... yang tak ada satupun sosok yang akan mampu masuk dan menjamahku.
"Cint, jangan lupa ya oleh - oleh keripik tempenya ?" pesan Maya padaku. Aku hanya tersenyum, mengiyakan.
"Dan buat gue, ehmm manisan mangga dech..... nyokap elo kan jago tuch bikin manisan. Kalo nggak mangga yach pepaya juga nggak papa koq !"
"Yee, sapa yang nawarin elo gembul !" sahut Saly sambil menyenggol tubuh Nisa. Mereka tertawa, riuh dan mengoda. Membuat beberapa pasang mata yang duduk di ruang tunggu, menatap kami dengan tatapan yang tak dapat kumengerti. Upss aku lupa bahwa setting cerpen ini adalah diterminal Yogyakarta. He...he..he... biarin dech, mereka pasti menyadari bahwa masa saat ini adalah masa - masa untuk kami.
"Biarin, Cinta aja nggak nolak koq" rujuk Nisa. Ach, Nisa gadis manis yang sedikit kegemukan. Ha..ha..ha, sedikit ?? aneh kalo aku lihat, begitu banyak lemak ditubuhnya.
"Iya dech ... semua request kalian, aku terima dan catat nich .... tapi cuma gue catet lohh, hi...hi..hi" serentak seperti di komando mereka bertiga langsung menyerbu aku, duch ... jadi nyesel dech, nggak cuma pipi yang kena, rasanya seluruh kulitku memerah karena ulah mereka.
"Stop ... stop ... stop. Please... gue nyerah nich !"
"Kalian tuch, seneng banget dech kalo lihat gue sakit !" Aku sedikit merajuk, habiss rasanya panas nich kena cubit, emang enak.... !. Ku tatap mereka bertiga, Maya, Nisa, Saly ... ach Yogya, disini aku temukan begitu banyak kedamaian, bersama mereka. Merasakan suka dukanya jadi anak kost, seneng susahnya hidup sendiri dengan orang - orang yang berbeda, beda dalam segala hal. Dan, karena perbedaan itulah yang membuat kami harus saling memahami dan menghormati satu sama lain. Karena perbedaan itulah, yang semakin menyatukan kami dalam ikatan. Sahabat .... lirihku.
"Rasanya udah waktunya nich, gue harus jalan. Tuch busnya dah standby di sana, gue cabut dulu ya ....!"
"Bener nich elo rela nggak ikut seminar besok ?"
"Yups, yakinlah ... gue rela koq, dia elo embat. Hi..hi..hi !"
"Wah kalo masalah embat mengembat sich gue jagonya tuch....!"
"Trims ya, karena kalian udah mo nolongin gue, so .. gue musti pamit sekarang !" Aku peluk mereka satu persatu, sebelum aku melangkah pergi meninggalkan mereka. Langkah kaki ini terasa berat, seakan ada beban yang tak mampu ditepiskan. Aku harus bisa, bisa .... mendapatkan seluruh hidupku kembali, memilikinya hanya untuk diriku sendiri. Dan menjalaninya sesuai harapan dan impianku. My dreams ...

Rumah .... rasanya begitu lama aku meninggalkannya, padahal hanya beberapa hari, beberapa minggu dan beberapa bulan. Kemarin, mungkin aku begitu malas menyambanginya, rasanya mendengar kata itupun membuat aku tak kuasa dalam deraan rasa ingin kembali, namun perasaan itu mesti aku tekan dan kusimpan saja dihati. Aku begitu takut .... sedangkan hal itu cepat atau lambat, kini atau nanti pasti akan aku alami. Jadi rasanya tak ada alasan lagi untuk menunda dan menunda semua hal itu. Lebih baik aku hadapi, apa saja yang akan aku temui. Perjodohan itu ....... semua tergantung padaku, dan saat ini aku ingin menemuinya, dan andai bisa aku ingin mengajaknya menjadi pengikutku, menentang perjodohan itu. Ha..ha..ha ide konyol memang, setelah bertemu dengannya 2 kali, rasanya hal itu amat sangat mustahil bisa dia lakukan. Karena .... ehmm entahlah ! aku merasa dia nyaman kala jalan denganku. Dan aku ....??? entahlah ....!!!
"Cint, bangun sayang... udah siang !"
"Ayoo.... anak gadis dilarang bangun siang - siang lohh !" Lamat - lamat aku dengar suara yang begitu ku kenal. Seperti suara Ummi dech. Tapi ..... ach, aku ngantuk nich! bukannya bangun, aku malah menarik selimutku kembali. Meringkuk dengan nyaman dalam pelukannya. Menghindari hawa dingin yang menyusup lewat jendela kamarku yang telah terbuka, selintas aku mendengar suara rintik hujan, uuuhhh aku semakin meringkuk lebih dalam.
"Biarlah Ummi, dia masih capek. Baru tadi malam kan dia datang." Upss, koq .... itu suara kakak dech ! kapan datangnya.
"Ante inta, obok ya mah !"
"Iya sayang, tantenya masih capek tuch. Yook, Izal jadi minta bubur ayam kan ?"
"Ubul ayang ya mah, ical lapel ni ..." Ach... suara itu membuat aku tak mampu memejamkan mataku. Cowok kecilku ... keponakan tersayangku .....
"Hai .... capa tyuhh ...! kangen nggak ma tante ?" mendengar suaraku, Izal langsung tertawa dan tanpa kuduga lari kearah ku dan menindihku. Aww... rasa sakit itu tak bisa kusembunyikan, dengan sedikit meringis aku membelai kepalanya.
"Apa sayanggg...."
"Ante obok elus ya.... ain yook !" Hi ..hi...hi, dia masih berumur 2 tahun. Suara masih sedikit cedal dan belum bisa mengucapkan seluruh kata. Kebanyakan hanya kata akhirnya saja.
"Hemmm, enggak tuch. Nich lihat tante udah bangun lohh ! mau ngajakin tante main apa nich ?" tanpa banyak kata, dia menarik tanganku, memintaku mengikutinya. Entah apa yang ingin dia tunjukan kepadaku.
"Ainan ical awat tebang ana mah ?" tanyanya kepada kakakku.
"Lohh, ya dirumah dong sayang. Tadi kan enggak Izal bawa ke rumah Eyang!" Mendengar jawaban mama nya, dia merasa kecewa, mulai dech teriakan dan lengkingan tanda protes dia keluarkan. Aduch susah juga ya meredakan amarah si kecil. Dengan lembut kuraih dia dalam pelukanku. Kubisikan kata - kata rayuan, yang kuanggap mampu meluluhkan hatinya. Dan berhasil, dia mulai lunak dan mengerti. Kakakku tersenyum, mengerti bahwa buah hatinya memang sedikit luluh kalau berhadapan denganku.
"Tumben pulang, enggak mau kabur lagi nich !" Aku tertawa, walau bagaimanapun kakakku paling tahu tentang aku. Kami sering curhat bareng. Tapi entahlah ... kalau masalah yang satu ini, dia benar - benar nggak mau menjadi kroniku. Dia lebih membela Ummi daripada aku.
"Kabur ? yeee sapa yang kabur sich ?? Cinta nggak pulang bukan karena mau kabur, tapi memang banyak tugas tuch!"
"Ach, elo tuch ya emang banyak alesan dech !"
"Jadi sekarang kamu udah punya senjata ya buat ngusir dia. Kayaknya susah dech Cint, soalnya kakak dia sering bilang ke aku kalau dia tuch serius koq ma kamu" BUMM !!! gila nich, belum - belum aku sudah dapat kejutan maha dahsyat. Enggak, aku nggak boleh nyerah. Toh aku belum mendengarnya sendiri dari dia.
"Udah dech, gue lagi males bahas itu. Mendingan kakak ngajakin aku jalan - jalan dech. Udah lama nich nggak nambah koleksi baju."
"Tuch ... males dech. Belum - belum udah elo todong !" ha... ha..ha ! aku tertawa, kakakku yang satu ini emang baik hati. Walau bilang begitu tapi pasti dech, akhirnya aku bakal dimanjain. Dia .... satu - satunya kakak yang kupunya, satu - satunya tempat aku bersandar selain Abbi dan Ummiku. Dia wanita istimewa bagiku, walau dia lulusan D3 Analis Komputer dan S1 Pendidikan Bahasa Inggris, dia lebih memilih dirumah, mengurus buah hatinya dan membantu suaminya berjualan komputer di rumah. Mereka benar - benar wiraswasta handal, dan aku bangga padanya .... dan akupun ingin dia bangga padaku, dengan memiliki adik sepertiku. Ach .... bagaimana caranya ???
Malam ini, benar - benar Indah.... kulihat ada bulan yang menyembul malu - malu disekeliling bintang - bintang yang berkedip dilangit. Aku merasa sedikit nyaman, dengan menatap bulan itu, aku seperti kembali dalam masa laluku. Masa - masa SMA yang sulit aku lupakan. Sahabat - sahabatku, Beller Fans Club dan Cemades Kadhinta. Tujuh orang cewek dan tujuh orang cowok. Walau kami beda sekolah, dan ada juga yang sudah kuliah, kami selalu bisa berkumpul, mengadakan acara camping atau hanya kumpul - kumpul. Dan bulan itu menjadi saksi, saksi bisu persahabatan kami. He..he...he Cemades itu singkatan dari Cewek makan nggak makan Ndrenges (ketawa, atau happy selalu). Kadhinta adalah singkatan dari nama - nama kami Kinah, Amu, Dias, Hisi,Itnas,Niaz dan Taya. Mereka sahabat - sahabat masa laluku, karena sekarang, saat ini mereka sangat jauh dari jangkauanku. Dan hanya kenangan dan nama - nama mereka yang selalu menghiasi hari - hariku, bagai bayangan yang tak pernah jauh dari diriku.
"Assalamu'alaikum Cinta !" Aku terkejut, kutatap sosok yang menyapaku. Dia ada disana, didepanku, menatapku dan aku terdiam membisu. Dengan sedikit tergagap aku membalas salamnya.
"Wa'alaikumsalam ... Donny ?" Tanyaku dengan sedikit ragu. Dia hanya mengangguk dan tersenyum.
"Boleh duduk ?" Aku bergeser tempat, mempersilahkan dia untuk duduk.
"Aku sudah terima pesanmu, heran ... cewek sesibuk kamu masih punya waktu untukku ? memangnya sudah longgar nich waktu kamu ?"Aku tersenyum, inilah pertama kalinya aku membuka diri padanya, menyisihkan waktuku untuknya dengan membuang semua perasaan tidak suka yang selalu bercokol dalam hatiku. Saat ini aku benar - benar ingin bicara dari hati ke hati dengannya. Semoga.. misiku kali ini tidak meleset.
"Gimana kabarnya Yogya ?"
"Yogya ? biasa ..... hujan mulu tuch. Maaf nich, kalo aku menganggu waktumu. Aku hanya butuh ngomong aja. Soal kita ..." Aku diam, menanti dia mengucapkan sepatah kata.
"Kita ? maksud kamu ?"
"Please dech, kamu nggak usah berlagak nggak tahu. Perjodohan itu ?"
"Mengapa mesti dibahas sekarang sich ? bukannya kamu menolak perjodohan itu ?" Aku mengangguk, kutatap dia, aku beranikan diri melihat kedalam mata jernih itu, berusaha mencari satu petunjuk yang bisa kujadikan alasan untuk meneruskan ucapanku.
"Kamu ?" Tanyaku.
"Cint, tak ada alasan bagiku untuk menolak. Emang aku cowok gila ya yang menolak dijodohin sama cewek secantik kamu ?" Duch ! bener - bener reseh nich cowok. Nggak tahu ya, kalau aku itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah diperuntukan oleh itulah, untuk inilah... aku adalah aku.
"Hal itu tidak mudah bagiku, aku tetaplah manusia yang memiliki semua harapan dan keinginan. Aku ingin menjalani hidup yang aku pilih sendiri, bukan pilihan orang tuaku. Karena aku yang menjalaninya, aku yang akan bertanggungjawab atas hidup aku sendiri. Selama ini apakah tak ada satu wanitapun yang menarik hatimu ? Ku lihat .... kau sosok yang benar benar bisa memenuhi impian semua wanita, tapi wanita itu bukan aku."
"Kamu lupa.... seharusnya kamu berlaku fair terhadapku. Kamu pernah berjanji akan memberiku waktu untuk menaklukanmu. Dan sekarang kamu memintaku mundur, menolak perjodohan itu ? sebenarnya bukan cuma kamu yang punya perasaan, aku juga .... tetap manusia." Ach ... aku merasa percuma, sia sia mengajaknya bertemu dan bicara, karena diantara kami tak ada satupun kata seia. Dia dengan pendiriannya dan aku dengan pendiriannku.
"Kapan balik ke Yogya ?"
"Senin, aku harus balik ke Yogya. Aku tak tahu lagi harus bilang apa. Dan aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi." Aku bangkit dari tempat dudukku. Ku lihat suasana di alun - alun ini semakin ramai, entahlah ... rasanya telah begitu lama aku tidak datang ke taman kota ini. Di tengah alun - alun yang penuh dengan pedagang yang mengelilinginya, anak - anak kecil berlarian dengan riang. Aku melangkah, namun sebelum sempat aku melangkahkan kakiku, Donny meraih lenganku, menahanku sejenak.
"Besok kita jalan, malam ini biarkan aku memikirkan semua ucapanmu itu. Dan jawabanku akan kamu dapatkan disana."
"Jalan ? kemana ?" Tanyaku dengan sedikit penuh harapan, akan dapat menyelesaikan masalah diantara kami.
"Ke Sarangan gimana ?" Aku tersenyum.
"Rame rame boleh ?"Tanyaku sedikit berharap, dia tersenyum penuh tanya ...
"Kita berangkat bareng sama kakakku, soalnya aku sudah terlanjur janji sama Izal, akan mengajaknya jalan - jalan"
"Boleh ..." Akhirnya malam itu, aku melangkah pulang dengan sedikit harapan, yach walo hanya sedikit, kuharap hal itu bisa menjadi penerang dalam hidupku. Semoga ....
Namun, akhirnya aku hanya pergi dengannya. Kakakku membatalkan rencananya ke Sarangan, dan sepertinya ini sudah direncanakan oleh mereka. Yach, biasa acara kong kalikong. Ummi dan abi serta kakakku memang kadang keterlaluan, mereka tetap saja menganggap apa yang mereka pilihkan untukku itu adalah pilihan terbaik dan tepat. Ach ....

Beast ....

Hari ini aku tertegun menatap mimpi.
Mimpi, yang kugantung diatas awan,
yang kulukis diantara pelangi
dan yang kujaga diantara rinai dan badai.
Impianku ....akankah kubiarkan luruh dan jatuh,
akankah kubiarkan dia kelabu
dan haruskah kubiarkan dia meninggalkanku hanyut dalam badai itu.
Entahlah, saat ini yang kumampu hanyalah mengenggamnya,
menjaga genggaman ini agar kuat mencengkramnya.
Akankah bisa ???
ketika ayunan langkah ini semakin goyah,
ketika harap dan mimpi tak sebanding dengan nyata.
Beast .......
beri aku satu kemampuan,
tuk membekukan hati dan rasa,
tuk diam tanpa berasa,
agar tak lagi kurasa
segala rasa yang selalu hadir,
yang hanya beri perih dan luka.
Hati disana ..... tahukah akan impian dan harap ini,
mengertikah bahwa aku ingin mencari sendiri,
memilih sendiri ......
segala warna untuk hidupku.
Karena aku ingin .......
melukis hidupku sendiri ....


Sarangan .... aku melihatnya tak sama dengan tahun lalu, saat terakhir kali aku kesana. Ehmm... hawanya masih tetap dingin, pohon - pohon pinus itupun masih menjulang tinggi hanya .... air ditelaga itu tak lagi biru, warnanya berubah kelabu, tak lagi jernih namun keruh, sekeruh hati dan rasaku. Aku mendesah, seakan ingin kubuang segala keresahan ini. Donny duduk disampingku, matanya menerawang jauh, menatap pucuk cemara yang seakan ingin mencium angkasa.
"Aneh ya ...., sudah lama rasanya aku tidak kesini. Dan kulihat, walau tidak begitu tampak tempat ini banyak berubah." Aku mencoba, membuka pembicaraan diantara kami, rasanya aneh bila dua orang saling diam, padahal kami duduk berdampingan. Saat itu kami duduk ditepi Telaga, melihat lalu lalang para penjual minuman dan strawberry yang dikemas dalam plastik. Warnanya merah ranum, cantik mengugah selera. Dan disetiap sudut, disepanjang jalanan ini aku melihat begitu banyak pasangan muda mudi yang bercengkrama dengan asyiknya.
"Kamu sering kesini ?" Tanyaku ....
"Hemm, nggak juga. Aku terlalu sibuk untuk melakukan hal - hal seperti itu."
"Maksud kamu ?"
"Aku sangat jarang keluar rumah, kecuali ke kantor, mengurus hal - hal yang terkadang dianggap remeh oleh orang lain"
"Kamu kerja dimana ?"
"Ha..ha..ha ...." Donny tertawa, begitu lepas seakan dia mencoba melepaskan beban yang menganggu hatinya.
"Ternyata, kamu memang belum tahu apapun tentang aku. Dan kamu tahu, dengan menolakku begitu saja tanpa ingin mengenalku terlebih dahulu, aku rasa itu keputusan yang terlalu tergesa - gesa" Yach ... aku mengakui kebenaran kata - katanya. Dan aku sadar, mungkin memang aku terlalu terbawa perasaan sehingga aku tidak bisa logis memikirkan hal itu.
"Cint, aku sudah mempertimbangkan semua keinginanmu. Kamu harus adil terhadapku, saat ini aku tak ingin memaksamu. Tapi satu pintaku, beri aku waktu untuk meraih hatimu, seperti yang kau janjikan dulu. Jika aku kalah, aku akan mundur teratur, tak ada luka dan sakit. Namun, jika aku menang, kamupun harus jujur, ikhlas mengakui kekalahanmu. Dan aku tak akan tertawa dengan kemenangan itu. Satu yang bisa kau pegang dariku "Aku tak akan pernah memaksa kamu menerima perjodohan itu", kita berteman saja dan biarkan waktu yang akan menjawabnya." Aku tertegun mendengar ucapannya. Ada sedikit kelegaan kala dia mengatakan tidak akan memaksaku menerima perjodohan itu. Tapi apakah kedua orang tua kami akan melakukan hal yang sama ?
"Gimana Cint ?"
"Baiklah ... aku setuju. Dan aku harap, kamu nggak lupa dengan janji kamu. Tak ada paksaan, tak ada rasa sakit dan tak ada kata saling menyalahkan. Aku nggak mau, ada perang dingin diantara keluarga kamu dan keluargaku, jika suatu saat ternyata kita memang tidak berjodoh." Ku ulurkan tanganku, kami saling berjabat tangan. Dan kurasa, kabut itu perlahan mulai menghilang. Aku berharap kan kutemukan satu berkas sinar, yang mampu menunjukan arah, kemana langkah ini mesti ku teruskan. Ada keyakinan di hati, esok memang pasti akan menjadi milikku. Hari ini, aku akan pulang dengan rasa tenang, paling enggak ada satu kata yang bisa ku pegang. Semoga hari esok seindah pelangi ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar